Kisah tentang Imam Besar dengan Satu Setengah Pengikut saya dapatkan langsung dari guru saya, mertua angkat saya, seorang ulama sufi Betawi terkemuka, yaitu KH Abdurrahim Radjiun bin Muallim Radjiun Pekojan. Kisah ini tentang seorang ulama sufi yang menjadi imam besar. Dia mendapat sebutan Imam Besar karena pada zamannya, selain dia seorang ulama, dia juga seorang pemimpin umat dengan jumlah jamaah sangat besar, sangat banyak. Namun naasnya, di akhir hayatnya, ternyata Si Imam Besar ini hanya mempunyai satu setengah pengikut saja.
Kisah ini terjadi di zaman dahulu, di sebuah wilayah di Timur Tengah. Pada suatu hari Sang Imam Besar ini didatangi seorang pemuda yang datang dari sebuah negeri yang jauh. Pemuda ini mendengar di negerinya dari para khafilah dagang, tentang adanya seorang Imam Besar dengan jamaah yang sangat banyak. Pemuda ini sangat kagum dengan berita tentang Si Imam Besar, sehingga saking kagumnya, dia rela menempuh perjalanan jauh untuk bertemu dengan Si Imam Besar.
Sesampainya di kediaman Si Imam Besar, pemuda tersebut disambut dan dijamu dengan sangat baik oleh Si Imam Besar. Kekaguman orang ini kepada Si Imam Besar semakin besar karena apa yang didengar tentang banyaknya jumlah jamah Si Imam Besar benar-benar dia saksikan dengan mata kepalanya sendiri. Dia pun berkata penuh kekaguman kepada Si Imam Besar, “Wahai Imam, jamaahmu, pengikutmu, benar-benar sangat banyak, rahmat Allah dan keberkahan terlimpahkan untukmu!”
Namun, orang tersebut mendapatkan jawabannya yang tidak dia sangka-sangka, yang mengagetkan dirinya, dari Si Imam Besar ini. Nampak olehnya Si imam Besar, si ulama sufi, tertunduk sedih, sambil berkata,” Wahai pemuda, engkau salah. Jamaah saya memang terlihat banyak sekali, tapi pengikut saya hanya satu setengah orang saja!”
“Wahai Imam, apa yang Anda maksudkan? Saya tidak paham!” Ujar Si Pemuda.
“Segera engkau akan tahu kebenaran ucapan saya ini. Karenanya, tetaplah tinggal di kediaman saya beberapa hari lagi,” ucap Si Imam Besar.
Ucapan Si Imam Besar menjadi kenyataan karena pada saat itu penguasa di negeri Si Imam Besar sedang gusar dan gundah gulana menyaksikan pengaruh besar Si Imam Besar terhadap rakyatnya. Si Penguasa merasa tersaingi dan sangat khawatir kekuasaanya akan terampas oleh Si Imam Besar. Karenanya, Si Penguasa ingin menyingkirkan Sang Imam Besar selama-lamanya. Maka Si Penguasa membuat tipu muslihat,memfitnah si ulama sufi, Si Imam Besar dengan sebuah kejahatan yang mengantarkan Si Imam Besar ke tiang gantung.
Di hari kematiannya, disaksikan begitu banyak orang, Si Imam Besar dibawa oleh algojo ke tiang gantung untuk dieksekusi mati. Sebelum tali melilit di lehernya, Si Imam Besar meminta waktu kepada algojo untuk berkata kepada orang banyak yang berkumpul, khususnya kepada jamaahnya.
“Wahai murid-muridku, jamaahku. Sebentar lagi, aku akan menghadap Allah di tiang gantung ini atas kesalahan yang tidak pernah Aku perbuat. Karenanya, kuyakini kematianku adalah jalan mudah untuk masuk ke dalam surga dan keridhaan-Nya. Jika ada yang ingin ikut bersamaku, bersama fitnah yang menimpa diriku ini, ikutlah bersamaku, mati di tiang gantung ini,” seru Si Imam Besar dengan wajah yang tenang.
Selepas seruan Si Imam Besar, suasana hening. Tiba-tiba keheningan pecah. Dari tengah kerumunan orang banyak, nampak si pemuda dari negeri yang jauh yang selama ini tinggal bersama Si Imam Besar berseru dengan semangat, ”Wahai Imam, saya ikut bersamamu, mati di tiang gantung!”
Petugas eksekusi kemudian membawa si pemuda ke tiang gantung yang disiapkan di samping kanan Si Imam Besar. Si Imam Besar bertanya kepada si pemuda,”Mengapa engkau mau ikut mati digantung bersamaku?”
“Karena Allah! Dan engkau berada dalam jalan kebenaran dan kerdhaan-Nya, wahai Imam. Lagi pula saya sudah berazam dari negeriku untuk berkhidmat kepadamu sampai ajal menjemputku, karena Allah, ” jawab si pemuda dari negeri jauh dengan mantapnya.
“Satu!” Ujar Si Imam Besar.
Tidak berselang, muncul dari kerumunan massa, seorang yang tua renta dan berkata kepada petugas eksekusi,” Saya ingin mati digantung bersama imam besar saya!”
Oleh algojo, si orang tua renta ini kemudian disandingkan di tiang gantung sebelah kiri Si Imam Besar. Si Imam Besar kemudian bertanya kepada si orang tua renta tersebut, ”Mengapa engkau mau ikut mati digantung bersamaku?”
“Saya sudah tua renta, sering sakit-sakitan dan menyusahkan banyak orang. Untuk apa saya berlama-lama hidup di dunia ini? Saya ingin segera mati saja bersamamu, wahai Imam,” jawab si orang tua renta.
“Setengah!” Ujar Si Imam Besar.
Setelah si orang tua renta itu, tidak ada lagi yang mengajukan diri untuk dieksekusi bersama Si Imam Besar. Si Imam Besar kemudian menoleh sambil tersenyum kecil kepada si pemuda yang akan dieksekusi mati bersamanya di tiang gantung, ”Inilah yang aku maksudkan dengan pengikutku hanya satu setengah saja; dan engkau termasuk di dalamnya, wahai pemuda dari negeri jauh!”
Tak lama setelah ucapan terakhir Si Imam Besar, esksekusi pun dilakukan. Ketiganya, Si imam Besar, si pemuda dari negeri jauh, dan si orang tua tua renta, wafat dengan membawa niat dan kepentingannya masing-masing. Dan kerumunan massa, khususnya jamaah Si Imam Besar, pulang ke rumah masing-masing dengan kesedihan. Hanya doa yang bisa mereka persembahkan untuk Si Imam Besar. Mereka tidak ikut mati bersama Si Imam Besar, karena kehidupan masih lebih mereka pilih sambil berharap segera muncul imam besar baru, sosok yang bisa mereka andalkan untuk mendapatkan ilmu, solusi dan untuk memenuhi kepentingan diri mereka masing-masing.
Oleh: Rakhmad Zailani Kiki
Kepala Lembaga Peradaban Luhur (LPL)
Tinggalkan Balasan