Oase I news.com, Bandung-Memang paradoks, di satu sisi kran impor dibuka luas hingga banjir impor, di sisi lain diajak untuk membenci produk luar negeri. Ini artinya Pemerintah sudah KONSLET, terganggu kesehatan fikiran, budaya, ekonomi, dan politiknya. Panik soal kebijakan ekonomi domestik. ke sana salah ke sini keliru.
Sebelumnya soal miras yang diberlakukan lalu dicabut, meskipun hanya Lampirannya saja. Juga soal pernyataan Polri status tersangka 6 syuhada laskar FPI, setelah itu segera dihentikan. Plan A yang gagal. Sudah “confuse” dalam segala hal. Pemerintah kehilangan “wisdom”, berbicara Asal Njeplak, dan bergerak Menabrak-nabrak.
Kalimat harus benci produk luar negeri sudah tidak mempan di telinga dan hati rakyat. Hanya jadi bahan cemoohan dan olok-olok. Pemerintahan Jokowi saat ini sudah sulit berjalan Ajeg meski memang belum mau “Melempar Handuk”. Masalah terus bertumpuk dan nampak tak mampu mengatasi. Kebijakan yang diambil sepertinya “Tutup Lubang Gali Lubang” seperti salah satu bait syairnya lagu si Raja dangdut H. Rhoma Irama. Menyelesaikan masalah dengan masalah (tidak seperti motto Penggadaian, Menyelesaikan Masalah Tanpa Masalah).
Membangun nasionalisme dengan sekedar mengucapkan kata Benci pada produk asing adalah naif bahkan berlebihan. Jika oposisi yang menyatakan hal seperti itu sudah pasti para Buzzer segera menuduh ucapan tersebut adalah “hate speech”, lalu dengan cepat dilaporkan ke Bareskrim Polri. Katanya tidak bisa gaul global. Tetapi karena sumbernya yang mengucapkan adalah Presiden Jokowi, ya sudah tafsirkan saja itu adalah ucapan yang sedang berapi-api untuk memotivasi masyarakat Indonesia dalam rangka membangkitkan rasa nasionalisme.
Seperti dibayangi hantu. Hantu Km 50 terus saja mengganggu. Takut luar biasa hingga TKP pun DIHANCUR LEBURKAN, penanganannya pun dilambat-lambatkan, serta opini coba diputarbalikkan. Hantu turun tahta menjadi mimpi buruk (seperti film Kartun). Oposisi DIBUNGKAM dan potensi lawan DILUMPUHKAN. Setelah HTI, FPI, KAMI, kini Partai Demokrat DIOBRAK-ABRIK. Kudeta lewat KLB akhirnya jadi juga dilaksanakan. Moeldoko sang Brutus terang-terangan membunuh SBY.
Hantu krisis ekonomi terus menakut-nakuti. Hutang luar negeri bertumpuk, hutang tambahan sulit setengah mati. Investasi asing tidak kunjung tiba dan terus dinanti. Pandemi melemahkan daya beli. Korupsi pun menjadi-jadi. Akhirnya stress dan caci maki. Produk luar negeri yang tidak bersalah pun harus dibenci. Caci maki yang kehilangan arti, sebab kata tidak sesuai dengan bukti.
Pemerintah terlihat bingung, kebijakannya semakin linglung. Meski berjalan terhuyung-huyung di depan rakyat tetap berusaha mencari panggung. Panggung tak bergaung.
Aduh biyung…!.( Simon)
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Tinggalkan Balasan