JAKARTA, Oase INews.com – Indonesia ingin menjadi lebih aktif dalam upaya penegakan Konvensi Senjata Kimia (KSK) guna mewujudkan perdamaian dunia. Hal ini ditandai dengan didirikannya Otoritas Nasional Senjata Kimia (OTNAS) yang dikukuhkan melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2017 tentang OTNAS.
“OTNAS merupakan sebuah lembaga yang mengemban amanat pelaksanaan KSK di Indonesia, yang juga melaksanakan mandat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2008 tentang Penggunaan Bahan Kimia dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia sebagai Senjata Kimia,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto pada acara Sarasehan OTNAS di Jakarta, Senin (23/7).
Dalam susunan kelembagaannya, OTNAS diketuai oleh Menteri Perindustrian dengan beranggotakan perwakilan dari 11 instansi pemerintah, yakni Kementerian Perindustrian, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Pertahanan, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kepolisian RI, TNI, LIPI, dan BPOM.
“Salah satu tugas utama OTNAS adalah melakukan pengawasan terhadap bahan-bahan kimia tertentu yang termaktub dalam KSK yang terdiri dari bahan kimia daftar 1, bahan kimia daftar 2, bahan kimia daftar 3, dan bahan kimia organik diskret nondaftar,” papar Airlangga.
Menperin menjelaskan, bahan kimia daftar tersebut merupakan bahan kimia yang bersifat dual use. Artinya, selain bermanfaat dalam menopang kebutuhan dan kegiatan manusia sehari-hari, bahan kimia juga bisa disalahgunakan dan membahayakan bagi keselamatan manusia dan lingkungan.
“Oleh karena itu, Kehadiran OTNAS diharapkan dapat menekan penyalahgunaan dan bencana akibat bahan kimia,” tegasnya. Ini punmenjadi salah satu upaya pemerintah untuk mencegah penyalahgunaan bahan kimia dalam aksi terorisme.
Di sisi lain, dalam memasuki era revolusi industri 4.0 yang menuntut otomatisasi dan digitalisasi di dalam setiap aktivitas industri, juga sejalan dengan semangat KSK dan OTNAS dalam menerapkan manajemen bahan kimia baik di lingkungan industri maupun di kalangan masyarakat.
“Prinsip industri 4.0 yang padat teknologi tinggi ini diciptakan untuk membuat proses produksi menjadi lebih efisien, ramah lingkungan dan memperkecil tingkat kesalahan manusia (human error). Semangat ini yang sama,” ungkapnya.
Airlangga menambahkan, OTNAS memiliki fungsi strategis sebagai koordinator dan penghubung antara pemerintah Indonesia dengan organisasi internasional atau Negara Pihak.Selain itu, menyelenggarakan fungsi koordinasi dengan instansi pemerintah terkait.
“OTNAS menjadi perwakilan dari Indonesia sebagai salah satu Negara Pihak dan bertanggung jawab dalam pemenuhan hak dan kewajiban sebagai Negara Pihak,” jelasnya. Sejak tanggal 12 Desember 1998, Indonesia resmi menjadi Negara Pihak dan hingga saat ini terdapat 193 negara yang telah meratifikasi KSK.
KSK atau juga disebut Chemical Weapons Convention (CWC) merupakan perjanjian global terkait pemusnahan senjata pemusnah massal khususnya senjata kimia yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa Bangsa pada tahun 1992. Sebagai salah satu wujud keaktifan Indonesia dalam ketertiban dan keamanan dunia, pada tanggal 13 Januari 1993 di Paris, Indonesia ikut menandatangani KSK bersama-sama dengan 129 negara.
Bangun laboratorium
Pada kesempatan yang sama, Menperin mengatakan, pihaknya tengah mengusulkan agar di Indonesia dapat dibangun laboratorium rujukan kimia yang memiliki standar internasional. Pasalnya, keberadaan laboratorium tersebut di wilayah Asia Tenggara baru ada satu, yaitu di Singapura.
“Laboratorium rujukan tersebut secara khusus dikembangkan untuk analisa prekursor dan hasil degradasi senjata kimia untuk mendukung implementasi KSK di tingkat nasional,” jelasnya. Menurut Airlangga, laboratorium itu juga bisa menjadi hub serta rujukan bagi pengembangan industri kimia di negara Asean.
“Indonesia sebagai negara yang memiliki sejumlah industri kimia yang unggul di Asean, tentunya kita mempunyai kesempatan untuk membangun laboratorium yang sama seperti di Singapura. Ini yang akan didorong dari Kemenperin agar ada satu laboratorium rujukuan kimia di Indonesia karena juga akan dimanfaatkan untuk pengembangan industri kimia nasional,” paparnya.
Airlangga meyakini, laboratorium rujukan kimia tersebut mampu memfasilitasi pengembangan industri kimia nasional agar lebih berdaya saing global terutama dalam memasuki era revolusi industri generasi keempat. Apalagi, industri kimia merupakan satu dari lima sektor manufaktur yang ditetapkan sebagai pionir dalam implementasi industri 4.0 sesuai peta jalan Making Indonesia 4.0.
“Kalau kita punya satu laboratorium yang levelnya standar internasional, maka pengembangan industri kimia kita akan semakin terpacu dengan adanya fasilitas yang canggih tersebut,” ujarnya. Pembangunan laboratorium ini juga menjadi bagian dari langkah strategis yang perlu dijalankan dalam implementasi industri 4.0 di Tanah Air tentang upaya pengembangan pusat inovasi.
“Di sektor industri makanan dan minuman sedang dikembangkan. Selain itu, di industri kimia juga butuh,” imbuhnya. Bahkan, kata Menperin, laboratorium itu bisa dimanfaaatkan dalam mendukung program penggunaan bauran minyak sawit dalam solar sebesar 20% (Biodiesel 20/B20) yang tengah digencarkan oleh pemerintah.
“Karena semua bahan baku kimia seharusnya bisa diteliti. Kita sebagai negara yang mempunyai jumlah industri kimia yang berkembang, harusnya punya satu laboratorium kimia yang canggih. Apalagi, nanti kita juga akan mengembangkan industri berbasis bio,” paparnya.
Untuk saat ini, lanjut Menperin, pihaknya akan mulai mematangkan kajian pembangunan laboratorium rujukan kimia tersebut. Selanjutnya, Indonesia perlu meminta persetujuan dari negara di ASEAN serta Organisasi Anti Senjata Kimia atau The Organisation for Prohibition of Chemical Weapons (OPCW).
“Kebetulan, Dubes RI di Belanda menjadi perwakilan kita di OPCW. Di Belanda saja, laboratoriumnyabaru mau dibangun. Sehingga di regional Asean, perlu juga dibangun,” tegasnya. Lebih lanjut, Indonesiapun membutuhkan bantuan program pembangunan kapasitas dari OPCW berupa pelatihan maupunbantuan pendampingan tenaga ahli untuk pengembangan kemampuan para peneliti di dalam negeri.
Peran industri kimia
Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil dan Aneka (IKTA) Kemenperin, Achmad Sigit Dwiwahjono menyampaikan, melalui sarasehan OTNAS ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk meningkatkan koordinasi dan komunikasi lebih intensif di antara anggota OTNAS, khususnya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam upaya meningkatkan pemantauan dan pengawasan bahan kimia.
“Sarasehan ini dihadiri lebih dari 100 orang yang merupakan perwakilan dari seluruh anggota OTNAS, lembaga riset dan pengujian, lembaga atau instansi terkait lainnya, akademisi, asosiasi dan pelaku industri kimia,” tuturnya.
Selain itu, adanya sarasehan ini, diharapkan pula dapat lebih mengenalkan OTNAS kepada instansi pemerintah, asosiasi industri kimia, dan pelaku industri. Dengan begitu, kesadaran industri kimia di dalam negeri untuk memenuhi kewajibannya dalam penerapan KSK lebih meningkat.
“Caranya, yakni dengan mendukung pelaksanaan inspeksi di fasilitas produksi bahan kimia, mengingat pemantauan dan pengawasan industri kimia merupakan salah satu aspek dalam penerapan KSK,” ungkapnya.
Di Indonesia, bahan kimia daftar digunakan sebagai bahan baku dan bahan penolong pada berbagai sektor, antara lain industri pupuk, industri toiletries, industri antioksidan, industri pengeboran minyak bumi, dan lain-lain.
Sedangkan, bahan kimia organik diskret nondaftar merupakan bahan kimia yang tidak termasuk dalam Bahan Kimia Daftar 1, 2, dan 3, tetapi merupakan senyawa yang mengandung unsur karbon, kecuali dalam bentuk oksida, sulfida, dan logam karbonat serta dapat pula mengandung unsur fosfor, sulfur, atau fluor.
Nantinya, setiap fasilitas yang menghasilkan bahan kimia daftar dan bahan kimia organik diskret nondaftar melebihi nilai ambang batas verifikasi harus tunduk terhadap inspeksi yang dilakukan oleh tim inspeksi dari The Organisation for Prohibition of Chemical Weapons (OPCW) atau organisasi yang melaksanakan ketentuan Konvensi Senjata Kimia di tingkat internasional. Pada saat melakukan inspeksi, tim inspeksi OPCW didampingi oleh tim inspeksi nasional.
“Tujuan umum inspeksi adalah untuk memverifikasi kegiatan yang dilakukan oleh fasilitas tersebut sesuai dengan keperluan yang tidak dilarang oleh konvensi atau dengan kata lain bahwa bahan kimia tidak dialihkan untuk senjata kimia,” papar Sigit.
Duta Besar RI untuk Belanda, I Gusti Agung Wesaka Puja selaku perwakilan OPCW menyebutkan, empat pilar yang termaktub di dalam KSK adalah memusnahkan seluruh senjata kimia dan fasilitas yang menghasilkan senjata kimia, serta memantau produksi dan perdagangan bahan kimia agar terhindar dari kegiatan penyalahgunaan bahan kimia sebagai senjata.
Selanjutnya, memberikan bantuan dan perlindungan bagi Negara Pihak dari ancaman atau serangan bahan kimia, serta mendorong kerja sama internasional untuk memperkuat implementasi KSK dan mempromosikan penggunaan bahan kimia untuk tujuan damai.
“Salah satu prestasi OPCW dan seluruh negara anggotanya adalah OPCW Nobel Peace Prize yang merupakan bukti pengakuan internasional atas kontribusi OPCW dalam perlucutan senjata kimia terhadap perdamaian,” tuturnya.(red)
Editor : Ksh
Tinggalkan Balasan