Pertama, keterlibatan militer untuk penyekatan “menghadapi” rakyat pemudik adalah berlebihan. Institusi yang kompeten cukup Kepolisian. Sama berlebihannya dengan pasukan Kodam Jaya menurunkan Baliho HRS yang menjadi tugas dan kewenangan Satpol PP.
Kedua, Efek psikologis menurunkan “Satuan Tempur TNI” adalah teror psikologis bagi rakyat yang sudah direnggut kebahagiannya. Larangan mudik itu mengecewakan dan menyedihkan. Terkesan betapa bahayanya rakyat di depan aparat sehingga perlu diteror dengan pasukan. Rakyat bukan Teroris.
Ketiga, rakyat atau masyarakat pulang kampung atau mudik bukan berarti memiliki uang berlimpah, mereka sekedar ingin bertemu dengan sanak keluarga, orang tua dan kerabat. Dengan pengerahan pasukan dan aparat maksimal, maka penyekatan dapat dikesankan menjadi “proyek lebaran” bagi petugas. Pasukan TNI yang dikerahkan mencitrakan selama ini bahwa pasukan itu memang “menganggur”.___________Tim SAR Batalyon D Satuan Brimob
Bahwa kondisi pandemi semua sudah tahu, rambu-rambu sudah dibuat yang disebut prokes. Kebijakan ketat mudik tak sebanding dengan Longgarnya Pariwisata. Mall tetap dibuka, pariwisata tetap digalakkan, bahkan pulang pergi penerbangan ke negeri Cina dibuka lebar. Ketidakadilan terus menampar wajah kekecewaan dan kepedihan rakyat Indonesia.
Jika ingin ketat urusan pergerakan masyarakat antar daerah, sejak dulu telah disarankan berlakukan saja sekaligus kebijakan “lockdown” tapi kan Pemerintah memang “bokek” sehingga tak mampu membiayai. Akhirnya kebijakan inkonsisten terpaksa diambil. Kebijakan Plintat-plintut.
Pejabat, pengusaha, atau orang kaya mampu berputar-putar menikmati wisata belanja dimana-mana, sementara rakyat yang hidup pas-pasan atau bernafas kembang kempis, untuk dapat bertemu bapa dan ibunya saja tidak bisa. Kebahagiaan yang terenggut di negeri banjir air mata.( Simon)
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Tinggalkan Balasan