Oleh : M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik dan Kebangsaan)
Oase I news.com, Bandung-
Kasus Herry Wirawan (HW) jelas sangat menggegerkan dan masyarakat mengecam dahsyat atas perilaku HW yang memangsa murid atau santrinya tersebut. Sebutannya predator sex. Kasus perkosaan kah ? Nampaknya bukan. Pengadilan harus membuktikan ada perkosaan atau tidak.
Kasus HW tidak bisa dilihat semata dari sisi pelanggaran hukum tetapi berspektrum lebih dari itu. Ada aspek sosial dan keagamaan. Bagaimana ada sebuah lembaga pendidikan yang tidak memiliki tim pendidik selain yang bersangkutanbersangkutan ? Bagaimana lingkungan sekitar tidak merasakan keberadaan lembaga tersebut, sehingga dari 35 santriwati yang ada tidak satupun santri berasal dari lingkungan terdekat. Padahal HW ini adalah Ketua Pokja Pendidikan Kesetaraan Pondok Pesantren Salafiyah (PKPPS) Kemenag.
Inilah lembaga misterius yang mengajarkan entah apa. Mengapa hanya santriwati yang sekolah disana dengan guru satu-satunya laki-laki. Bukan hanya motif guru “pemerkosa” yang harus diperiksa tetapi motif orang tua menitipkan puteri-puterinya nya pun dinilai aneh. Mungkinkah ada komunitas tertentu yang berada di ruang lingkup “pendidikan” tersebut ?
Kasus ini tidak boleh ditutup-tutupi. Buka selebar-lebarnya. Mau pesantren, boarding school atau apapun namanya nyatanya Herry Wirawan (HW) telah merusak umat. Biarlah hukum berjalan diranahnya, tetapi aspek sosial keagamaan harus ikut bergerak. MUI dan Ormas keagamaan dituntut untuk terjun menyelidiki. Tercium aroma kesesatan di dalam lembaga yang berada di bawah pengawasan Kemenag tersebut. Kemenag tentu memiliki data yang cukup.
Tiga pertanyaan mendasar untuk mengejar lebih dalam perbuatan si predator seks ini. Pertama, apakah terjadi pemaksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga memenuhi apa yang disebut dengan “pemerkosaan” masif, berulang, dan banyak korban ? Kedua, adakah itu semata hubungan perzinaan atas dasar rayuan atau suka sama suka. HW berdosa atas hukum perzinaan. Melanggar agama dan hukum positif. Berhubungan dengan anak di bawah umur lagi.
Ketiga, jika ternyata HW maupun santriwati binaannya itu merasa hubungan intim dijalankan dalam bingkai doktrin keagamaan dimana baik HW maupun korban ternyata merasa “nyaman-nyaman” saja, maka indikasinya adalah ada pemahaman keagamaan sesat HW yang didoktrinkan kepada anak binaannya apakah “milkul yamin” atau nikah mut’ah ajaran Syi’ah.
Benar bahwa anak-anak dibawah umur sebagai korban harus dilindungi, tetapi masyarakat khususnya umat Islam berhak untuk tahu dan waspada atas “sistem” yang berjalan di dalamnya. Bagaimana bisa pula Pemerintah mengeluarkan dana bantuan atas lembaga pendidikan di Cibiru yang konon tidak berizin ? Semoga tidak menjadi skandal.
Bongkar penyimpangan dan usut tuntas perbuatan yang telah mengatasnamakan agama ini. Siapapun yang terlibat harus ikut bertanggung jawab. Jangan biarkan peristiwa keji seperti ini berlalu begitu saja. Kejahilan harus diberantas dan kejahatan harus ditindak tegas.(Simon)
Tinggalkan Balasan