Mempertahankan Tanah Kuburan Berujung PIDANA

Oleh: Dahlan Pido SH MH
Oase I news.com,  Kota Tangerang Selatan, Ironisnya hukum kita, bahwa ahli waris pemilik tanah menjadi Terdakwa sampai masuk tahanan/bui dengan dakwaan Pasal 263 ayat (1) KUHP tentang pidana pemalsuan surat/dokumen. Ternyata surat dakwaan tidak sinkron dengan formil dan materiil dari surat dakwaan, karena pemalsuan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.
Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum dalam proses pemeriksaan Terdakwa di Kepolisian tidak memiliki alat bukti, seperti:

a. Belum di ujinya tanda tangan surat/dokumen yang dipalsukan tanda tangan asli sebagai pembanding di Laboratorium Forensik Polri, atau setidaknya ada keterangan dari ahli Grafologi, untuk menentukan apakah telah terjadi pemalsuan dokumen atau tidak;

b. Dugaan tindak pidana pemalsuan dokumen yang dilaporkan terjadi tanggal 13 November 2019 di Kelurahan Sawah, Kecamatan Ciputat FATAL, karena kejadian sesungguhnya pada tanggal 09 November 2018, yang dilaporkan oleh yang bukan korban/bukan orang yang dirugikan (pemilik), namun pelapor adalah kuasa yang seharusnya  mendampingi pemilik sebenarnya;

c. Adanya keterangan tertulis dari keluarga pemilik tanda tangan yang mengetahui adanya batas-batas kepemilikan tanah yang menyatakan tidak dipalsukan;

d. Adanya Formulir PTSL yang sudah terisi dari Kelurahan tentang batas-batas tanah kepemiliktan, dan adanya keterangan dari pejabat atau petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tangerang Selatan yang melakukan program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) bahwa itu tanah milik Supriyadi dkk dengan diterbitkannnya Sertipikat Hak Milik tanggal 09 Nopember 2019;

e. Kasus ini juga pernah dilaporkan dengan surat panggilan tanggal 24 September 2019 dalam dugaan tindak pidana terhadap barang/pembongkaran tembok kuburan, sebagaimana dimaksud Pasal 170 KUHP yang terjadi tanggal 30 Mei 2018,namun laporan ini tidak terbukti karena pelapornya bukanlah korban yang dirugikan (pemilik tanah).

Bahwa FAKTA YANG TIDAK TERBANTAHKAN kasus ini merupakan kasus Perdata murni yang sudah dimenangkan di tingkat Banding PTTUN (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara) Jakarta dengan Perkara No.194/B/2020/PT.TUN.JKT., sehingga jelas kasus ini merupakan hubungan hukum yang bersifat Keperdataan, yang dimenangkan oleh Terdakwa.

Berdasarkan hak Terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP yang mengatur bahwa: “Dalam hal Terdakwa atau penasehat hukum mengajukan keberatan bahwa Pengadilan tidak berwenang mengadili perkara atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan oleh Jaksa Penuntut Umum untuk menyatakan pendapatnya Hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.”

Bahwa dalam hukum acara dikenal dengan 2 (dua) macam kompetensi atau kewenangan Peradilan, yakni kewenangan Absolut dan Kompetensi Relatif. Kompetensi absolut berhubungan dengan lingkungan peradilan manakah yang berwenang mengadili suatu persoalan hukum, sedangkan kompetensi relatif menyangkut kewenangan pengadilan, apakah dalam suatu lingkungan peradilan yang berwenang mengadili suatu persoalan hukum.

Disini kewenangan mengadili adalah Keperdataan dalam Kepemilikan Hak Atas Tanah oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Serang yang telah dimenangkan oleh Terdakwa, sehingga persoalan ini telah selesai lebih awal, seperti disebutkan di atas. Bahwa apabila kompetensi peradilan tersebut dikaitkan dengan perkara a quo, maka timbul pertanyaan peradilan manakah yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara Terdakwa, terlebih Pasal yang didakwakan tidak dijelaskan secara eksplisit.

Berkaitan dengan itu, penting menegakan kebenaran dan keadilan untuk memastikan terpenuhinya keadilan yang menjadi Hak Asasi Manusia, sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 Deklarasi Universal HAM (DUHAM), Pasal 14 ayat (1) Konvenan Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi menjadi Undang Undang No 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Internasional Convenant on Civel and Political Rights (Konvenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik), pasal 27 (1), pasal 28 D (1) UUD 1945, pasal 7 dan pasal 8 TAP MPR No XVII Tahun 1998 Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 17 Undang Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dimana semua orang adalah sama dimuka hukum dan tanpa diskriminasi apapun, serta berhak atas perlindungan hukum yang sama. Dan demi tegaknya keadilan sebagaimana semboyan yang selalu kita junjung bersama selaku penegak hukum yakni Fiat Justitia Riat Caelum. ( Simon)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *