Habib Rizieq bukan kabur. Dia hanya mau menyelamatkan istri dan anak-anaknya yang diancam dibunuh dan diperkosa. Habib Rizieq tidak takut mati, kapan dan dimana saja.
Oleh : Mangarahon Dongoran (wartawan senior)
Jakarta, Oase I News.com – TULISAN ini saya buat setelah mengikuti peristiwa penggerebekan atau penutupan lapo tuak di Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara akhir April lalu.
Penggerebekan dilakukan masyarakat bersama anggota Front Pembela Islam (FPI) setempat, karena laporan keresahan masyarakat atas lapo tuak yang buka di bulan Ramadhan, bulan suci umat Islam, ke kecamatan dan kepolisian setempat tidak direspon atau ditindaklanjuti
Menurut berita yang saya baca di media resmi (bukan media sosial), penutupan paksa lapo (kedai) tuak itu dilakukan karena pemiliknya, seorang perempuan, tidak menggubris permohonan masyarakat sekitar lapo tuak yang mayoritas Muslim agar menutup usahanya, terutama di bulan Ramadhan, bulan suci umat Islam. Bahkan, ada suruhan dari pemilik lapo yang mendatangi pihak FPI, dan diduga menyodorkan sejumlah uang agar kegiatan di kedai itu tetap jalan.
Jelas FPI menolak. Sejak kapan FPI mau disogok? Imam Besar Habib Rizieq saja yang dicoba disogok Rp 1 triliun agar membatalkan demo 212 menolak mentah-mentah. Wah, kalau mau disogok, FPI sudah menjadi ormas Islam yang kaya raya, tetapi sudah pasti dicaci-maki dan ditinggal anggota, pendukung dan simpatisannya.
Sejak lama, banyak yang berusaha menyogok FPI. Usaha menyogok datang dari berbagai kegiatan bisnis haram, mulai dari importir minuman keras, importir video porno, bandar narkoba, bandar judi (sewaktu judi masih merajalela), sampai tukang sabung ayam.
Nah, di media sosial, pihak yang membela pemilik lapo tuak juga menulis macam-macam, mencoba memojokkan dan mengadu-domba antara FPI dan umat Islam. Mereka dengan keangkuhannya menyebut, “Mana toleransi orang Islam. Mau cari makan saja tidak boleh.”
Ada lagi kalimat, “Saya tidak benci Islam, tapi saya benci FPI. Bubarkan FPI. FPI tidak punya izin.”
Yang lebih menyedihkan dan membuat emosi, ada tulisan di medsos yang kalimatnya, “Buka warung nasi dan kopi kok dilarang, padahal pintunya sudah ditutup kain, sehingga orang dari luar tidak dapat melihat (yang makan dan minum di dalam).”
Padahal, pemilik lapo, Lamaria Manulang jelas mengakui menjual tuak (minuman yang terbuat dari air aren yang dicampur bahan tertentu, sehingga bisa memabukkan). Alasannya, karena ada supir angkot yang memintanya menjual barang haram bagi umat Islam itu. Katanya, tuak untuk obat corona virus diseade 2019 (Covid-19). Waduh hebat sekali ya.
Aneh! Siapa sebenarnya sopir angkot itu? Apakah provokator atau hanya alasan yang dibuat-buat perempuan pemilik lapo? Atau sudah kongkalikong antara pemilik lapo dan sopir angkot. Sudah tahu tuak diharamkan umat Islam, kok masih berani menjualnya, terutama di bulan Ramadhan dan di daerah yang penduduknya mayoritas beragama Islam.
Facebook saya pun habis-habisan diserang pendukung penjual tuak itu. Dari nama-nama dan marganya, saya pastikan semua Nasrani atau Kristen. Makanya, saya sempat mengirim pesan ke WA Grup, “Saya lagi ‘berperang’ melawan kelompok B-3.”
Mereka menyerang dari berbagai penjuru. Mulai dari kata-kata menuding saya pendukung khilafah, pendukung FPI, alumni 212, tidak toleran, kok puasa tidak sabar dan macam-macam. Bahkan menuduh saya seorang
radikal.
Saya akan mulai dari uraian atas tuduhan mereka tidak toleran atau intoleran dari FPI, umat Islam dan saya. Saya selalu menjawab, betapa indahnya toleransi itu jika masing-masing memahami makna dan artinya. Saya juga sering menjawab, “Jangan ajari saya toleransi.”
Toleransi dalam pandangan saya memiliki makna yang luas dan dalam. Tidak hanya dalam beragama, tetapi toleransi itu juga menyangkut hubungan antar suku, ras dan golongan. Bahkan, toleransi itu bagi saya juga menyangkut hubungan keluarga, hubungan antar partai dan seterusnya.
Sebab, jika makna toleransi itu hanya pada agama, artinya pemahamannya sangat dangkal dan sempit. Apalagi cuma toleransi antar umat beragama. Padahal, ada juga toleransi inter (sesama) umat beragama. Dalam Islam, toleransi sudah dipupuk antara pengikut Mazab Imam Hanafi, Mazab Imam Maliki, Mazab Imam Syafi’i dan Mazab Imam Hambali. Dalam praktik sehari-hari, toleransi antara muslim yang bergabung dalam Nahdhalatul ‘Ulama atau NU sebagai pengikut Imam Syafi’i dan Muhammadiyah sebagai pengikut Imam Hambali terus dipupuk dan dibina.
Di dalam keluarga saja, misalnya kita harus toleran, saling mengerti dan saling memahami. Jika tidak toleran (misal, suami seenaknya pada istri dan anak-anak), bisa dipastikan ikatan keluarga itu cepat bubar. “Bapaknya kejam, suka mukul, suka berkata kasar dan lain-lain,” begitu saya beberapa kali merekam perbincangan dengan wanita yang bercerai dengan suaminya.
“Jangan ajari saya toleransi,” demikian kalimat yang hampir selalu saya tulis untuk menjawab serangan dari kaum radikal kafir Kristen ke Islam dan saya melalui FB.
Kelompok yang menyerang saya menulis beragam kalimat yang sangat menyakitkan dan melukai umat Islam. Saya tahu, mereka memancing saya agar emosi. Akan tetapi, selalu saya jawab dengan kalimat yang logis dan masuk akal.
Misalnya, ketika mereka menyebut pimpinan kadrun (kadal gurun, bagi kelompok 212), saya jawab apa adanya. “Pimpinan kadrun (maksudnya Habib Rizieq Shihab), kabur ke luar negeri. Tidak berani pulang. Takut ya dan kalimat lainnya,” tulis salah seorang pemilik akun FB.
Saya cuma menjelaskan, “Habib Rizieq bukan kabur. Dia hanya mau menyelamatkan istri dan anak-anaknya yang diancam dibunuh dan diperkosa. Habib Rizieq tidak takut mati. Siap kapan dan di mana pun dibunuh. Akan tetapi, istri dan anak-anak (semua anaknya perempuan) takut dan trauma,” jawab saya.
Sama halnya saya dan Anda. Kalau cuma diancam dibunuh saya tidak takut, mungkin juga Anda. Tapi kalau sampai istri dan anak Anda diancam dibunuh dan diperkosa, Anda masih berpikir bagaimana menyelamatkan mereka.
Lagi pula, cukup wajar dalam setiap pertikaian politik, seseorang yang berseberangan dengan pemerintah mengasingkan diri. Coba banya cerita Nelson Mandela, pemimpin oposisi Filipina, pemimpin oposisi Myanmar dan lain-lain yang mengasingkan diri demi perjuangan menegakkan kebenaran.
Intoleran masuk klenteng
Kok tidak lapor ke polisi? Percuma melaporkannya. Sebab, ruang zikir Habib Rizieq di Pesantren Mega Mendung, Puncak, Bogor Jawa Barat yang ditembaki orang tidak dikenal dan sudah dilaporkan, tidak ada kelanjutannya.
Belum lagi saat Habib Rizieq ceramah di daerah Cawang, Jakarta, dua mobil penuh bensin (satu sudah terbakar) dan meluncur ke arah jamaah dan panggung) juga tidak ada kelanjutannya.
Tentang kalimat mereka yang menulis , “Saya tidak benci Islam, tapi benci FPI apalagi izinnya tidak diperpanjang.”
Saya jawab bahwa berdasarkan undang-undang, tidak diperlukan perpanjangan izin sebuah ormas (organisasi kemasyarakatan) apa pun, tidak hanya FPI.
“Jika Anda benci FPI berarti benci Islam juga,” tulis saya.
Ketika mereka mengeluarkan video ada orang ceramah memakai peci putih, pake koko dan kain sarung menyebut FPI tidak perlu, saya pun mengirimkan video anggota FPI yang melakukan penyemprotan disinfektan di Klenteng, Petak 9, Jakarta. Kalau FPI tidak dibutuhkan dan intoleran, apakah pengelola klenteng akan membiarkan mereka masuk? (Bersambung).(RED/VAN)
Tinggalkan Balasan