Oase I news .com, Jakartta – Jajaran pengurus Media Online Indonesia (MOI) DKI Jakarta mengajak seluruh media kembali kepada khittah kode etik jurnalistik sebagai panduan moral dalam menjalankan profesi jurnalistik maupun bisnis media.
Ajakan itu disampaikan oleh AYS Prayogie dalam sambutannya usai dilantik sebagai Ketua MOI DKI Jakarta oleh DPP MOI, sore tadi, 27/2.
“Belakangan ini, pers cukup marak memberitakan soal perselingkuhan selebriti,” ujar Yogie, demikian sapaan aqkrabnya.
Sayangnya, menurut Yogie, pemberitaan itu membawa-bawa anaknya sebagai saksi yang memergoki perselingkuhan itu, lengkap dengan menyebut anaknya.
Atau juga mengungkap kisah lama artis, seperti mantan model yang kini duduk di parlemen. “Berita itu hanya mengungkap latar belakang si artis saja, meski tak ada sangkut pautnya dengan berita perselingkuhan,” tutur Yogie.
Padahal, sesuai aturan Penulisan Ramah Anak, ada larangan menyebutkan nama anak, baik sebagai pelaku maupun korban kejahatan.
“Jangankan nama inisial, nama sekolah, tempat tinggal dan sekolah pun dilarang disebut, karena si anak masih punya masa depan,” jelas AYS Yogie. Bahkan, masalah itu, menjadi materi yang diujikan dalam Uji Kompetensi Wartawan yang digelar Dewan Pers.
“Kami mengimbau mari kita tegakkan Kode Etik, sehingga pers tidak menjadi pengadilan buat anak,” jelas Yogie, termasuk saat pers menjalankan fungsi kontrolnya kepada birokrat.
Menurut Yogie, saat pers menjalankan fungsi kontrol sosial hingga terkena kriminalisasi dengan pasal UTE, rata-rata mengklaim kontrol sosial itu tendesius, sepihak, tidak uji konfirmasi dan sebagainya.
“Ironisnya, banyak aparat hukum, yang belum memahami aturan hukum pers sebagai Lex spesialis,” tambah Yogie, sehingga menambah buramnya hukum pers.
“Kiranya kerjasama Dewan Pers dan Mabes Polri menjadi acuan,” ujar AYS Yogie.
Karena itu, ke depan MOI DKI akan gencar melakukan advokasi tentang hukum pers maupun sosialisasi tentang Kode Etik Jurnalistik. Lewat advokasi dan pelatihan itu, minimal dapat mengurangi kriminalisasi terhadap jurnalis.
Taufiq Rachman dan Lasman Siahaan, tokoh yang turut membidani lahirnya MOI, mendukung upaya-upaya yang dilakukan MOI agar pers tahu batas-batasnya dalam mengimplementasikan kebebasan pers.
“Kebebasan itu hanya dibatasi oleh HAM yang merupakan anugerah Tuhan kepada manusia,” ujar Lasman Siahaan yang kini hijrah menekuni profesi advokat.
Bagi Taufiq Rachman, meski pers tak bisa dilepaskan dari teori make name news (nama menjadi berita), sehingga marak dengan berita selebriti, tapi tetap dibatasi kaidah-kaidah moral.
“Kan selebriti juga punya keluarga, punya anak. Jangan sampai, karena pers, si anak menjadi terhukum dan dicibir,” jelas Taufiq, jurnalis era 80-an yang kini menjadi pengusaha, sekaligus menakhodai lahirnya Asosiasi Pengelola Parkir Indonesia (Aspeparindo).
Kuetua Umum DPP MOI, Rudi Sembiring dan Sekretaris Jenderal Jusuf Rizal, mengamini haulnya DPW MOI Jakarta.
“MOI DKI itu menjadi barometer. Jadi harus terdepanlah. Apalagi soal kode etik, itu kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar,” tegas Jusuf Rizal, jurnalis senior yang banyak malang melintang di pers nasional. (****)
Tinggalkan Balasan