Oase I news.com, Jakarta-Menurut Bank Dunia (World Bank) Indonesia adalah salah satu negara dalam daftar ke-10 negara yang memiliki hutang luar negeri terbanyak di dunia. Fakta itu tertuang dalam laporan Bank Dunia bertajuk International Debt Statistics 2021, yang urutannya setelah Negara China, Brasil, India, Rusia, Meksiko, Turki, Afrika Selatan dan Thailand.
Menjadi pertanyaan besar apakah hutang negara/pemerintah itu menjamin kesejahteraan rakyat Indonesia ?, karena realitanya sampai saat ini penduduk Indonesia masih banyak yang hidup apa adanya, bahkan masih banyak yang miskin. Jumlah hutang yang ada tidak seimbang dengan kesejahteraan rakyat, hutang yang ada tidak sejalan dengan perkembangan ekonomi, bahkan pertumbuhan hutang lebih besar ketimbang pertumbuhan ekonomi.
Boleh dikata bahwa hutang yang ada digunakan untuk menambal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang defisit karena pendapatan negara lebih rendah dari belanja, tapi bukan berarti bisa digunakan asal-asalan sehingga tidak mencapai sasaran pembangunan ekonomi. Hutang harusnya digunakan untuk kegiatan yang produktif (infrastruktur, pendidikan dan kesehatan) agar bisa dirasakan oleh seluruh rakyat, karena hutang itu nantinya akan dibayar oleh uang rakyat juga.
Sebagai tanggung jawab hukum demi mengurangi beban rakyat atas hutang, luar negeri, seharusnya pemerintah juga agresif bisa mengajukan potongan hutang (hair cut) kepada para kreditur internasional, walaupun langkah itu akan ditolak oleh kreditur. Tidak dapat dipungkiri penggunaan hutang juga untuk membiayai belanja non produktif, seperti belanja pegawai kementerian.
Perlu diingat bahwa dalam Hukum Internasional terdapat Doktrin Odious Debt, yang disusun oleh Prof. Hukum Alexander Nahum Sack, mantan Menteri pada pemerintahan Tsar (Rusia), intinya adalah hutang yang tidak dipakai untuk kepentingan rakyat tapi dikorupsi pejabat negara, bukan menjadi kewajiban negara. Sebagian pakar ekonomi juga menamakannya hutang najis dan hutang haram, sedangkan Prof. Dr. Jeffrey A. Winters menyebutnya Criminal Debt.
Pada Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang berbunyi Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang untuk melakukan pinjaman dan memberikan jaminan atas nama pemerintah; dan pada Pasal 38 ayat (1), bahwa Menteri Keuangan dapat menunjuk pejabat yang diberi kuasa atas nama Menteri Keuangan untuk mengadakan hutang negara atau menerima hibah yang berasal dari dalam negeri ataupun dari luar negeri sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam UU APBN (UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara).
Jika di baca dan di cerna substansi Pasal di atas bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan UU harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sehingga menurut penulis secara spesifik menyebutkan bahwa, Presiden membuat perjanjian internasional yang dapat menimbulkan akibat bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban hutang yang akan dibayar nanti, harus dengan persetujuan DPR.
Namun, apabila Menteri Keuangan mempunyai tugas melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan sesuai UU yang disebutkan di atas, jika tugas dilakukan oleh Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden tentu ini tidaklah tepat, karena kekuasaan Presiden dalam membuat perjanjian pinjaman hutang itu harus dengan persetujuan DPR. Namun, kemudian Presiden memberikan dan atau melimpahkan kekuasaannya ini kepada Menteri Keuangan harus telah mendapat dengan persetujuan DPR.
Perlu diketahui bahwa Pemerintah Negara Indonesia berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia …” sebagaimana yang disebut dalam Pembukaan UUD 1945. Artinya negara wajib melindungi semua komponen bangsa, mulai dari rakyat, kekayaan alam, serta nilai-nilai bangsa yang patut dipertahankan.
Serta hak-haknya dipenuhi berdasarkan hukum negara, antara lain menjunjung hak asasi manusia, hak mendapatkan pekerjaan, hak perlindungan hukum yang sama, hak memperoleh pendidikan dan Kesehatan, berpolitik dan bebas menguarkan pendapat lisan maupun tulisan.
Dan dalam agama yang mayoritas di anut oleh rakyat Indonesia adalah Islam, maka hutang itu dipertanggungjawabkan penggunaannya kepada Allah SWT, untuk apa digunakan dan sampai kapan dilunasi. Hutang bukanlah masalah sepele, dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi harus direncabakan penggunaannya dengan matang, sasarannya harus terarah, karena ini adalah masalah moral, sebagai amanah yang diberikan kepada seorang pemimpin.
Dalam jangka panjang akumulasi hutang luar negeri menjadi tanggung jawab negara dan menjadi beban para wajib pajak, ini sama artinya dengan mengurangi tingkat kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia masa mendatang. Sebab pembiayaan pembangunan ekonomi dari hutang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Namun apabila penggunaan hutang luar negeri yang tidak dilakukan dengan bijaksana dan tanpa prinsip kehati-hatian, akan menjerumuskan negara dalam krisis yang berkepanjangan, dan sangat membebani rakyat ke depan sampai anak cucu, memilik hutang yang sangat besar.
Dapat menjadi contoh dalam pemerintahan Islam modelnya lebih menggunakan sistem tradisional, tidak serumit sistem anggaran modern, secara sederhana menganut konsep keseimbangan (Syariah), pengeluaran dan penerimaan negara adalah sama, seperti pada era pemerintahan Rasulullah dan Khulafaurrasyidin, APBN jarang mengalami defisit (budget deficit). Hal ini karena para pemimpin memegang prinsip kehati-hatian, bahwa pengeluaran hanya boleh dilakukan apabila ada penerimaan.
Berdasarkan tulisan penulis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hutang luar negeri akan menjadi bumerang ketika tidak dikelola dengan baik dan serampangan, kondisi hutang luar negeri Indonesia saat ini tidak sesuai lagi dengan kaidah-kaidah yang diajarkan oleh Islam. Implikasinya adalah, pemerintah perlu sebuah tinjauan kembali mengenai hutang luar negeri agar lebih sesuai dengan kaidah-kaidah Islam yang mengedepankan sisi kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia.
( Simon )
Penulis adalah Praktisi Hukum dan Advocad Senior.
Tinggalkan Balasan