Jakarta, Oaseindonesianews.com -Setelah ditetapkan sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI) oleh DPR RI Komisi XI untuk priode 2018-2023, Perry Warjiyo berjanji akan mendorong perekonomian Indonesia sehingga peran bank sentral tidak hanya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Akan tetapi, untuk menepati janjinya itu, BI disebut perlu diberi mandat yang jelas dalam hal mendorong percepatan pembangunan.
Karena itu, kata Perry, pihaknya akan secepatnya mengajukan revisi atas Undang Undang tentang BI tahun 1999 agar mendapat kewenangan tersebut. Berdasarkan UU yang ada selama ini, peran BI hanya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan inflasi sehingga dibatasi untuk mendorong percepatan pembangunan.
Ia menyebut, salah satu instrumen yang bisa digunakan BI untuk mendorong pertumbuhan adalah dengan kebijakan makroprudensial. Kebijakan makroprudensial merupakan kebijakan yang berkaitan dengan dinamika di sektor keuangan yang bersumber dari interaksi antara makro ekonomi dengan mikro ekonomi.
Kendati bukan hal baru dan sudah diterapkan di Indonesia sejak krisis keuangan melanda Asia pada 1997/1998, istilah ini di tingkat internasional relatif baru menjadi perhatian dan banyak didiskusikan beberapa waktu terakhir. Kerangka makroprudensial BI merupakan bagian dari manajemen krisis bersama dengan kerangka kebijakan fiskal dari Kementerian Keuangan, OJK dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Akan tetapi yang menarik, gagasan Perry untuk membawa BI lebih berperan terhadap pertumbuhan ekonomi persis seperti yang diinginkan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Pada pertengahan tahun lalu, misalnya, Dewan Eksekutif IMF lewat keterangan resminya berjudul IMF Executive Board Approves Indonesia’s 2017 Financial System Stability Assessment setuju terhadap penilaian stabilitas sistem keuangan di Indonesia. Seperti Perry, IMF menilai kewenangan BI tidak diatur secara tegas dalam hal makroprudensial untuk mendorong pembangunan ekonomi.
Untuk menegaskan kewenangan tiap-tiap lembaga, IMF seperti juga Bank Dunia menyarankan perlunya merevisi UU tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan juga UU BI. Selain memperjelas tanggung jawab OJK dalam hal pengawasan, revisi itu untuk memastikan BI berperan dalam mendorong pembangunan. Lewat revisi itu pula, kewenangan dan fungsi antara OJK serta BI tidak lagi tumpang tindih.
Tentu saja kesamaan gagasan Perry dan IMF itu perlu dipertanyakan, terlebih sosok ini pernah menduduki posisi penting sebagai Direktur Eksekutif IMF mewakili 13 negara anggota yang tergabung dalam South-East Asia Voting Group.
Menanggapi hal tersebut anggota Komisi XI DPR, Faisol Riza mengingatkan, agar Perry tidak melulu menuruti “resep” dari IMF yang bisa saja membawa situasi menjadi lebih buruk. BI sebaiknya fokus pada hal-hal penting dan mendesak antara lain penurunan tingkat bunga perbankan, stabilitas nilia tukar rupiah dan mengelola neraca perdagangan yang defisit pada Januari 2018.
Mengutip data resmi BI, Riza menyebutkan, neraca perdagangan Indonesia tercatat defisit sekitar US$ 0,68 miliar pada Januari lalu. Defisit juga terjadi pada Februari 2018 yang mencapai US$ 0,12 miliar. Dari jumlah ini, maka total defisit dalam tiga bulan sejak Desember 2017 mencapai US$ 1,1 miliar.
Soal suku bunga kredit perbankan, menurut Riza, secara rata-rata masih tercatat di atas 10% hingga akhir tahun lalu. Berdasarkan data uang yang beredar BI, bunga kredit perbankan rata-rata tercatat 11,55% per Oktober 2017. Pun demikian dengan nilai tukar rupiah hari-hari ini yang nyaris menembus Rp 14 ribu per dolar.
“Hal-hal inilah yang perlu diselesaikan Pak Perry sebagai Gubernur BI terpilih. Tidak melulu mengikuti resep IMF karena lembaga ini acap salah. Kita perlu belajar dari sejarah 1998, Argentina dan Yunani. Apalagi kepentingan IMF sebetulnya hanya satu: memastikan lembaga keuangan dan perbankan bisa membayar dan tidak peduli pada pengentasan kemiskinan,” tutur Riza, anggota Fraksi PKB itu. (Kristian Ginting)
Editor : Kosasih
Tinggalkan Balasan