Penulis : Khaerul Azmi Abbas
Oase INews.com – PEMILUKADA adalah sebuah kontestasi untuk memilih dari sekian banyak putera terbaik daerah untuk dijadikan pemimpin, dalam hal ini adalah Kota Tangerang.
Namun, yang terjadi sekarang bukanlah pemilihan, melainkan rakyat “dipaksa” untuk memilih, lantaran hanya muncul satu Pasangan Calon dalam arena Kontestasi politik di Kota Tangerang.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah munculnya satu-satunya Paslon karena tingkat “kepuasan” masyarakat, sehingga semua secara aklamasi memilih kembali calon tersebut, atau karena ada hal-hal lain yang “mencederai Demokrasi”. Hal ini yang perlu pembahasan lebih tajam.
Untuk mendalami dan mencari “benang merah” fenomena PASLON TUNGGAL ini lah JKK terlahir.
Beberapa keganjilan yg perlu diperhatikan :
1. _”Mahal” nya biaya politik_.
Partai merasa lebih aman bernaung pada Pemodal, dibandingkan membangun jaringan berdasarkan kualitas kader.
2. _Terciptanya “Pragmatisme” Partai Politik_.
Tampaknya, pepatah _”tak ada rotan, akar pun jadi”_, benar-benar diterapkan dalam konteks ini. Sehingga dari pada mendorong kadernya, dan “kalah”, lebih baik “berteduh” di ketiak kekuasaan; setidaknya ada harapan kebagian _”berkah”_. “Sedikit”, tentu lebih baik daripada “tidak sama sekali”. Sungguh PRAGMATIS.
3. _Fenomena “Borong Partai”_.
Ada 10 Partai Parlemen dan 2 Partai Non-Parlemen yang “terbeli”, bayangkan total ada “12 partai politik”, dan tidak ada satupun diantara mereka yang punya kader layak tanding. Sekilas (maaf) terlihat “murahan”.
Dan dengan memiliki semua partai, seakan muncul stigma bahwa Pilkada sudah _”selesai”_. Padahal, “suara partai bukan suara rakyat”.
4. _”Mati” nya kaderisasi_.
Pemilukada sejatinya tidak hanya tentang menang atau kalah, melainkan sebuah momen untuk melahirkan calon pemimpin yang punya _”Pengalaman Tanding”_.
Bahkan, potensi munculnya pengalaman tsb, harus hilang karena fenomena _”Borong Partai”_. Kasihan, para kader partai yang harus tersumbat kesempatannya.
5. _(Merasa) Pasti “Menang”_.
Karena merasa pasti menang, Paslon tidak lagi merasa penting untuk “adu program, adu ide, janji politik atau kontrak politik”.
Ah, ada janji dan kontrak politik aja belum tentu “ditepati”. Tanpa janji dan kontrak politik, arah kebijakan pasti akan dipacu “ugal-ugalan”.
6. _”Anti-Kritik” (Sombong secara politis)_
Akan muncul pribadi anti-kritik dan kesombongan politik. Karena paslon tidak merasa diperjuangkan, tapi memang menang karena tidak punya lawan. Sehingga (kemungkinan) “semena-mena” terhadap kebijakan yg diambil.
7. _Program Abstrak “Lanjutkan”_.
Entah apa arti “Lanjutkan” yang didengungkan oleh pasangan calon, karena kata tsb multi-interpretatif/multi-tafsir.
Apa saja yang ingin dilanjutkan, apakah sulitnya mengambil insentif dari ketua-ketua RT dan Guru ngaji, atau hilangnya Insentif guru yang *DILANJUTKAN*.
8. _”Ada” Pemimpin berkualitas yang terjegal oleh keadaan_.
Jika, kotak kosong “menang”, maka akan ada Pemilukada “ulang”. Saat itulah akan muncul kader-kader terbaik Kota Tangerang untuk masuk ke dalam arena pertarungan politik.
Nyali mereka akan padat, lantaran “Petahana, pemilik modal, dan berkuasa atas 12 Partai” di Kota Tangerang “Tumbang” oleh “kedaulatan rakyat”.
9. _Kotak Kosong “Pembuka” Keran Demokrasi_. Kotak Kosong bukanlah milik partai, ia “murni suara rakyat”. Sehingga secara langsung kotak kosong tidak berjuang untuk individu tertentu. Ia berjuang untuk membuka keran demokrasi yang tersumbat. Ketika keran itu terbuka, maka Kotak Kosong mempersilahkan pada kader terbaik kota ini baik kader partai, maupun non partai untuk masuk kedalaman arena pertarungan politik di Kota Tangerang.
_Pinggirrawa, 23 Juni 2018_
[K]yai Otak Kosong
Tinggalkan Balasan