Oleh: Hartanto Boechori Ketua Umum PJI (Persatuan Jurnalis Indonesia)
Pers Investigasi sebagai sahabat ataukah musuh masyarakat?
Pers bagi masyarakat/publik secara umum, tentunya diterima “oke-oke” saja bahkan dinantikan kedatangannya ; “Hey Pers, berita baru apa yang kau tampilkan hari ini, saat ini?, apa yang akan kau tampilkan nanti, besok?, apa sebenarnya yang sedang terjadi disana?, apa alasannya?, kok ada pernyataan demikian dari pejabat Negara, jadi ada apa sebenarnya dibalik semua kejadian itu?, bagaimana kelanjutan kasusnya Si Anu?, dan sebagainya, dan sebagainya”.
Begitulah kira kira yang ada di benak publik.
Bagi sebagian ‘kalangan tertentu’, pers (lembaga kegiatan jurnalistik) dipandang sebagai “momok” bahkan “musuh” yang membahayakan” bagi diri atau kelompoknya, karena seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999, bahwa salah satu fungsi atau peranan pers adalah sebagai kontrol sosial.
Peranan Pers Nasional
Di dalam pasal 3 (1) Undang-undang pers disebutkan, pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Selain itu di Pasal 6;
Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut :
a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan;
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang.berkaitan dengan kepentingan umum;
e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran;
Masyarakat pada umumnya hanya tahu terlalu sedikit, bahkan banyak yang tidak mengetahui apa-apa yang terjadi diluar jangkauan komunikasi mereka.Disinilah pers berperan sebagai mata-telinga publik. Pers sangat berguna bagi masyarakat…, pasti.Informasi telah menjadi bagian penting bagi sarana kehidupan berbangsa dan bernegara, jadi pers atau media massa berperan sangat penting.Pers mempunyai kekuatan atau kekuasaan yang besar untuk mempengaruhi opini masyarakat.
Apakah Negara Butuh Pers?
Program-program Pemerintah, dapat sampai secara cepat ke masyarakat juga karena adanya sarana pers.Di keadaan ini, pers juga berfungsi sebagai “corong“ Pemerintah. Jadi dapat disimpulkan bahwa Negara juga membutuhkan pers.
Pernahkah terlintas di benak kita apabila di Negara kita ini tidak ada insan pers yang melakukan investigasi untuk menguak fakta “kebenaran, kekurangan maupun keburukan” pihak-pihak tertentu?!Bila pers hanya melakukan tugas tugas jurnalistik “seadanya” saja, dan tentunya tak ada media pers yang menulis atau memberitakan fakta-fakta hasil investigasi yang berperan sebagai kontrol social, tak pelak Negara ini akan kacau balau.Korupsi, kolusi antar petugas Negara dengan pengusaha illegal, nepotisme, mafia peradilan dan berbagai prilaku negatif (bahkan yang illegal) lainnya tentunya akan merajalela di Republik ini.
Resiko Tinggi, Hak Ala Kadarnya
Harus disadari pula, bahwa tidak mudah untuk menjadi pers investigasi, utamanya yang melaksanakan tugas menguak fakta yang bersifat kontrol sosial yang rentan “ berbenturan” dengan kepentingan-kepentingan ataupun “borok” pihak-pihak tertentu.
Kalaulah secara intelektual rekan pers yang melaksanakan investigasi berita itu sebenarnya punya kemampuan yang cukup, namun masih harus ditunjang beberapa kriteria lainnya, termasuk juga pembiayaan, yang dalam situasi kondisi tertentu relatif tidak sedikit. Sedangkan pers dalam melakukan pekerjaan atau tugasnya, sepenuhnya harus membiayai dirinya sendiri, tidak didanai oleh Negara / Pemerintah.
Untuk menunjang tingkat keberhasilannya, pers investigasi dituntut untuk berbekal beberapa kriteria; tingkat intelektual yang cukup, cermat, kritis, ulet, bermental baja, kreatif, berani, keingintahuan yang besar, mempunyai tingkat kepedulian tinggi untuk melayani hak informasi publik, dan terutama berpegang teguh pada etika profesinya.Itupun masih harus ditunjang kebijakan redaksional di mana sang wartawan berkiprah.
Insan pers yang melakukan tugas investigasi mempunyai tanggung jawab dan tingkat resiko yang tinggi layaknya Intelijen Negara yang sedang melakukan tugas klandestein/penyusupan (tetapi tentunya minus haknya).
Bahkan tingkat keamanan rekan rekan Pers sangatlah rentan dan nyaris terabaikan, karena pers sama sekali tidak bisa dan memang tidak didisain secara Hukum maupun moral, untuk melakukan tindakan yang sifatnya represif; bahwa dalam melakukan tugas investigasinya, insan pers sama sekali tidak dibekali dengan perangkat self defence (pengamanan diri).
Beberapa waktu yang lalu (tahun 2011, Red) seorang rekan wartawan koran mingguan, ZI, melakukan klarifikasi untuk menguak fakta yang diindikasikan sebagai kesalahan prosedur Hukum yang dilakukan oleh salah seorang Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) di Surabaya.Namun ujung ujungnya malah mendapat telpon dari dua orang “tokoh” dari etnis tertentu yang cukup dikenal dan “ditakuti”, yang pada intinya “meminta” (baca: melarang!) agar si wartawan tidak melanjutkan investigasinya dalam kasus itu.
Ironis memang, seorang Perwira Penegak Hukum menggunakan pola-pola premanisme yang menjadi musuh Hukum, namun inilah fakta.Hal demikian apa perlu ditutup-tutupi demi “nama baik” Korps?!
Dan masih banyak lagi resiko yang mungkin dan bahkan telah dialami oleh rekan pers yang lain;Menerima tindakan represif dari berbagai pihak yang merasa “terbentur” oleh pemberitaan pers. Nyawapun terkadang menjadi taruhan. Seperti yang beberapa waktu lalu menimpa wartawan Radar Bali, dibunuh dengan motifasi dendam, karena saudara kita itu sebelumnya menguak perbuatan korupsi seorang Bupati.Tersangka pembunuhnya adalah saudara Sang Bupati.
Premanisme Kerah Putih / kriminalisasi
Tak cukup hanya itu, dalam menjalankan tugasnya, terutama pers yang melakukan tugas investigasi, masih juga dibayang-bayangi “taring” ancaman sangsi pidana akibat pemberitaan, dikarenakan UU Pers sendiri sampai saat ini (Tahun 2011, Red), masih “berkelahi” dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam melindungi wartawan dan perusahaan pers.
Belum lagi pihak-pihak yang menggunakan pola “premanisme kerah putih”, istilah saya bagi orang yang melampiaskan rasa sakit hatinya atas pemberitaan pers dengan menghalalkan segala cara apapun, termasuk fitnah dan kriminalisasi dengan cara membeli “tangan-tangan” Hukum.
Seperti kejadian yang menimpa seorang rekan pers di Surabaya; karena menjalankan peranan pers investigasi, telah dikriminalisasikan oleh pengurus-pengurus teras sebuah yayasan yang “pemiliknya” atau Ketua Dewan Pembinanya adalah Imam Utomo, Gubernur Jawa Timur saat itu (2007-2008).
Wartawan itu dilaporkan ke Polisi dengan laporan/keterangan yang “seratus persen palsu” dan mutlak hanya merupakan karangan para pelapor yang memendam rasa dendam.
Ironisnya, kriminalisasi itu didukung serta diperkuat oleh “penguasa”, dalam hal ini oknum penyidik Polwiltabes Surabaya (sekarang Polrestabes Surabaya) dan Jaksa Kejaksaan Negeri Surabaya.
Bukti koran asli berisi tiga tulisan wartawan itu beserta 10 gambar hasil pemotretan Sang wartawan yang diberikan kepada penyidik untuk bukti, ternyata tidak ada satupun yang disertakan dalam berkas resume ke Jaksa, serta berbagai “kekonyolan” hukum lainnya yang dilakukan oleh penyidik maupun Jaksa.
Alhasil, atas penahanan Jaksa yang dilanjutkan oleh penahanan Hakim, 89 hari wartawan itu menginap di “hotel prodeo” Rutan Medaeng tanpa melakukan perbuatan kriminal samasekali.
Para saksi pelapor bahkan berani memberikan keterangan Palsu dibawah Sumpah (Sumpah Palsu) di persidangan.
Beruntung masih ada Hakim yang punya mata-hati dan ‘keberanian. Setelah persidanganan selama 15 kali, pada tanggal 28 Maret 2008 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya Armindo Pardede, SH. MAP., J.J. Oktavianus, SH. MH.dan Abdul Bari A. Rahim, SH., memutus bebas murni.
Atas putusan itu jaksa menyatakan kasasi, namun kenyataannya memori kasasi baru dikirimkan ke Mahkamah Agung setelah lebih kurang dua tahun sejak putusan.
Itupun setelah wartawan itu mempertanyakan kepada Ketua Pengadilan Negeri Surabaya dan Mahkamah Agung.
Penanganan Laporan Sumpah Palsu “Lemot”
Perbuatan pidana Sumpah Palsu itu (pasal 242 ayat 2 KUHP) pada tahun 2009 telah dilaporkan ke Polda Jatim dengan terlapornya para pengurus teras yayasan itu, namun penyelidikan/penyidikannya dihentikan sementara oleh Penyidik Polda Jatim dengan alasan menunggu hasil kasasi.
Bulan Mei 2011, putusan kasasi baru diterima rekan wartawan itu dari Pengadilan Negeri Surabaya dan langsung diserahkan kepada Kapolda Jatim Irjen Pol Untung Suharsono Rajab serta dilanjutkan dengan diberitahukan secara tertulis kepada penggantinya, Irjen Pol. Hadiatmoko (kasasi Jaksa ditolak, putusan kasasi menguatkan putusan Pengadilan Negeri).
Namun sejauh itu nasib laporan perkara Sumpah Palsu itu tak kunjung memperoleh kejelasan ataupun perkembangan.
September 2011 Ombudsman RI melalui Kepala Perwakilan Jawa Timur mengirim surat dinas yang ditujukan kepada Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Hadiatmoko yang pada intinya mempertanyakan kelanjutan nasib laporan wartawan itu.
Barulah setelah itu pada tanggal 4 Oktober 2011 lalu, Polda Jatim melaksanakan gelar perkara. Hasilnya, perkara laporan Sumpah Palsu itu dinyatakan dilanjutkan. Walaupada akhirnya tetap juga perkaranya diduga sengaja dikandaskan/dimentahkan oleh oknum-oknum tertentu.
Penegasan Hukum Bahwa UU Pers Lex Specialis
UU No. 40 tahun 1999 tentang pers yang ditandatangani oleh Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie tanggal 23 September 1999 dan sampai hari ini (tahun 2011, Red) dijadikan “Payung Hukum” bagi insan Pers Indonesia dalam menjalankan tugas dan profesinya, pada kenyataannya masih belum sepenuhnya diakui sebagai Lex Specialis (peraturan khusus).
Akibatnya, sengketa antara pihak pers versus perorangan atau kelompok tertentu, seringkali langsung diterapkan dengan aturan Hukum Pidana Umum (KUHP), dan pada akhirnya dalam menyelesaikan setiap sengketa pers, Aparat Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim) pun sering tumpang tindih; tak pelak pers menjadi “ pelengkap penderita “ lagi.
Seyogyanya dalam menyelesaikan setiap sengketa terkait pemberitaan pers, aparat Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim), meminta pertimbangan Dewan Pers dan atau Organisasi Pers Si wartawan penulis berita; apakah pemberitaan pers yang dipersengketakan itu memenuhi kriteria pemberitaan pers dan mematuhi KEJ (Kode Etik Jurnalistik) ataukah tidak.
Kalau memang dinyatakan memenuhi kriteria pemberitaan pers dan KEJ, maka UU Pers lah yang selayaknya dijadikan pedoman.Sebenarnya hal demikian ini telah tersirat di dalam UU pers itu.
Menyedihkan!! Negara kurang bersungguh-sungguh membekali alat perlindungan Hukum yang memadai terhadap insan pers dalam melakukan tugas atau pekerjaannya.
Negara dalam hal ini tentunya Presiden kita, Menteri komunikasi dan informasi, Mahkamah Agung, Parlemen dan semua pejabat Negara yang berkompeten serta mempunyai kewenangan untuk membuat perangkat Hukum.
Memang Mahkamah Agung telah beberapa kali mementahkan gugatan terhadap media pers dikarenakan si penggugat tidak menggunakan UU Pers dalam gugatannya;kasus Harian Garuda di Medan versus seorang pengusaha, kasus Bambang Harymurti versus Tommy Winata, dan kasus Majalah Tempo lawan Texmaco.
Namun patut disayangkan, belum ada satu pun keputusan MA yang secara tegas menyebutkan bahwa UU Pers sebagai sebuah peraturan khusus ( Lex Specialis ) yang mengesampingkan Undang-undang umum ( Legi Generali ).
Beberapa waktu terakhir ini perdebatan tentang sifat kekhususan undang-undang pers ini juga semakin berkurang (tahun 2011, Red).
Tetapi bukan berarti undang-undang pers tidak perlu diperkuat. Harus ada penegasan hukum dari pihak-pihak berwenang.
Pers Pilar Keempat Demokrasi
Sebelum terbitnya Undang-undang No. 40 tahun 1999 itu, masih berdengung di telinga kita bahwa pers adalah “pilar keempat” demokrasi Bangsa dan Negara ini.
Pantaskah?! Menilik tanggung jawab, fungsi dan peranan pers yang begitu besar seperti diamanatkan di UU No. 40 (pasal 3 dan pasal 6) serta resiko-resiko tertanggungnya, tidaklah terlalu berlebihan sebutan itu disandangkan pada insan pers (walaupun pada kenyataannya, kalangan pers sendiri tidak silau dengan atribut-atribut sebutan gemerlap).
Saat membuat pemberitaan, tentunya perspun harus berlaku cermat, berimbang, tidak memihak, serta berpegang teguh pada etika profesinya.
Tiap pemberitaan pers yang “berbau” kontrol sosial, harus selalu dilakukan konfirmasi/klarifikasi kepada pihak terkait dan atau yang berkaitan ataupun berkompeten.
Tetapi, seperti telah menjadi kebiasaan, pihak obyek pemberitaan yang merasa “tersudutkan”, seringkali “berkelit” saat diklarifikasi (“wis dhadhi sego-jangan” , begitu kata orang Jawa); tidak mau menemui, telpon tidak diangkat/sengaja dimatikan, dan banyak “tingkah” lainnya.
Bahkan ada yang lebih ekstrim lagi, setelah tahu bahwa “boroknya” akan dijadikan pemberitaan; bukannya mengklarifikasi, malahan melakukan teror dengan berbagai macam cara.
Dalam situasi kondisi demikian, relevan bahwa Hak Jawab dan Hak Koreksi yang yang diamanatkan di dalam UU Pers, menjadi Hak bagi pihak yang (merasa) menjadi obyek pemberitaan, sedangkan bagi pelaku pers, hal itu merupakan tanggung-jawab dan kewajiban serta harus benar-benar dilaksanakan.
Sebenarnya sudah sangat banyak polemik tentang UU Pers; ‘Lex Specialis’ atau bukan, perlu atau tidaknya UU Pers dijadikan ‘Lex Specialis’; Dewan Pers, Organisasi-organisasi pers, wartawan, dan bahkan praktisi Hukum yang memperjuangkan UU pers sebagai Lex Specialis. Tetapi harus diingat, pelaku perslah yang tahu betul arti pahit getirnya “medan perang“ dunia investigasi pers.
Paparan di atas hanya sekelumit contoh, betapa sebenarnya pers hanya ingin ‘berbuat’ lebih banyak demi Republik ini beserta seluruh masyarakatnya yang majemuk.
Berkaca dari hal-hal yang saya tulis di atas, seyogyanya Presiden (tahun 2011itu Presiden SBY, Red.) sebagai Kepala Negara kita untuk (sekurang-kurangnya) mengkondisikan kepada Mahkamah Agung agar mengeluarkan fatwa bahwa Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers, bersifat lex specialis; bahwa apabila kasusnya berkenaan/berkait dengan dengan pemberitaan pers, maka UU Pers merupakan peraturan yang harus diutamakan.
Artinya sebelum menjerat jurnalis dan perusahaan pers dengan peraturan lainnya terlebih-lebih KUHP, harus digunakan dulu UU Pers.
Dan dalam dalam menyelesaikan setiap sengketa pers, Pertimbangan Dewan Pers dan atau Organisasi Pers si penulis berita harus dilibatkan.
Seharus dipahami, bahwa pers adalah ‘profesi’ yang membutuhkan aturan Hukum yang sifatnya khusus.
Undang-undang No.40 tahun 1999 tentang Pers, pada kenyataannya belum cukup untuk disebut sebagai Undang-undang yang bersifat ‘ Lex Specialis derogate Legi generali ’ yang dalam bahasa kita artinya ‘ketentuan khusus yang dapat mengesampingkan ketentuan dalam UU yang bersifat umum’.
1000 Kepala 1000 Tafsir
Terutama di tangan penegak Hukum dan praktisi Hukum; jangan sampai terjadi, dari 1000 kepala menghasilkan 1000 tafsir.
Sebenarnya selama pers dapat membuktikan bahwa pemberitaan pers nya memenuhi unsur ‘melakukan fungsi kontrol sosial’ dengan benar‘ dan atau unsur ‘untuk kepentingan umum’, maka tidak dapat dijerat dengan ketentuan KUHP.
Bukankah dalam pasal 3 dan pasal 6 diamanatkan secara “melebar”, tanpa batasan yang jelas.
Maka seharusnya ada kepastian Hukum yang tegas dan lugas, agar tak terjadi 1000 kepala-1000 tafsir itu.
Presiden, sebagai Kepala Negara sudah saatnya terpanggil untuk mempertegas ‘kespesialan’ undang-undang pers ini.
Demikian pula Mahkamah Agung, Parlemen dan semua pihak yang berkewenangan.
Toh pers bukan liar, masih ada lapisan lapisan filter setelah wartawan yang bertugas di lapangan.
Ada redaktur, redaktur pelaksana pemimpin redaksi, pemilik dan pengurus perusahaan persnya sendiri.Belum lagi organisasi pers dan dewan pers yang memang diamanatkan di dalam UU.
Pengakuan UU Pers lex specialis
Polemik UU Pers berhasil diredam dengan dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman antara Ketua Dewan Pers Periode 2010-2013Prof. Dr. Bagir Manan, SH, MCL., dan KapolriJendral (Pol) Drs Timur Pradopo di Gedung DPRD Jambi (9/2/2012), serta Nota Kesepahaman lain antara Dewan Pers dengan Jaksa Agung RI, Panglima TNI dan lain-lain, dilanjutkan dengan penandatanganan Nota Kesepahaman antara Ketua Dewan Pers era kepemimpinan Yosep Adi Prasetyo dengan Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian di Maluku (9/2/2017) dan dengan berbagai instansi lain.
Namun harus dipahami semua rekan jurnalis bahwa semua Nota Kesepahaman itu untuk melindungi ‘kemerdekaan’ pers semua jurnalis/wartawan yang profesional dan menjalankan pekerjaannya berdasarkan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, bukan semua yang mengaku wartawan/jurnalis.
Dalam surat Dewan Pers nomor : 322 /DP/K/VI/2017 13 Juni 2017 yang ditujukan kepada Ketua Umum PJI (Persatuan Jurnalis Indonesia), Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo menegaskan, “Dalam melakukan pekerjaan jurnalistik, seorang wartawan yang mematuhi KEJ dan bekerja di perusahaan media yang berbadan hukum akan mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers”.
Mengobati ”borok” reformasi kebebasan pers
Kita tak dapat mengelak, reformasi tahun 1998 yang melahirkan era “percepatan kebebasan“ pers Nasional, menciptakan “borok” permasalahan baru di dunia pers Nasional. Tak pelak dibutuhkan langkah ‘tegas tetapi bijak’ dari seluruh pemangku kebijakan dunia pers Nasional. Disinilah PJI yang lahir di era reformasi ’98 berperan aktif melakukan pembinaan terhadap anggotanya bersama Dewan Pers.
Kasus kematian wartawan M. Yusuf di tahanan
Menjadi buah bibir di kalangan pers Nasional, baru-baru ini M.Yusuf, wartawan media online dijadikan tersangka dugaan pelanggaranUU ITE berdasarkan laporan satu perusahaan sawit di Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatandan berujung kematian di sel tahanan. Pelapor menilaipemberitaan yang dijadikan dasar laporan bersifat provokatif dan merugikan perusahaan.
Atas permintaan Penyidik Polres Kotabaru, pada awalnya Dewan Pers merekomendasikan agar M. Yusuf diproses dengan UU Pers, namun atas “desakan” penyidik melalui proses hukum yang mereka hadirkan, pada akhirnya Dewan Pers memberi rekomendasi kepada Penyidik untuk menempuh jalur hukum diluar UU Pers terhadap yang bersangkutan.
Berkaca pada kasus M. Yusuf, penulis menekankanagar jurnalis lebih berhati-hati serta mematuhi KEJ (Kode Etik Jurnalistik).Penulis tidak merekomendasikan pers atau jurnalis menggunggah berita di Media sosial apalagi tanpa melakukan konfirmasi berimbang.
Kalau UU Pers lex spesialis, maka terhadap pemberitaan yang ditayangkan di media pers yang sudah memenuhi persyaratan UU Pers (dan tentunya ada penanggung-jawab redaksinya), maka obyek yang merasa “terserang” pemberitaan pers itu seharusnya meminta ditayangkan dulu hak jawabnya atau mengadukan kepada Dewan Pers sebelum menempuh jalur hukum diluar UU Pers.
Bila pihak penegak hukum mendapat laporan, penyidik agar melaksanakan perintah UU Pers terlebih dulu, melakukan prosedur penyelidikan dengan meminta pertimbangan Dewan Perssebagai Saksi Ahli yang konstitusional termaksud dalam UU Pers atau kerkoordinasi dengan organisasi pers yang bersangkutan sebelum meningkatkan ke proses penyidikan atau menjalankan prosedur hukum diluar UU Pers.
Jurnalis pejuang keadilan dan kebenaran
Harus diingat substansi pasal 6 huruf e UU Pers, peranan pers nasional ‘memperjuangkan keadilan dan kebenaran’. Jadi selama jurnalis yang diadukan berupaya memperjuangkan keadilan dan kebenaran sebagaimana substansi/”roh” pasal itu, makaterhadap pelaku pers itu wajib diproses berdasarkan UU Pers; menayangkan hak jawab dan atau permintaan maaf.
Penulis meminta kepada Dewan Pers agar menjadikan substansi pasal 6 huruf e UU Pers sebagai salah satu bahan pertimbangan utamadalam memutus rekomendasi yang diminta penyidik.
Catatan Redaksi Oase Indonesia News:
1. Ketua Umum PJI Meminta Dewan Pers Menggunakan Pasal 6 Huruf e UU Pers
2. Ketua Umum PJI: Jurnalis Pejuang Keadilan dan Kebenaran
3. Ketua Umum PJI: Reformasi ’98 Menciptakan “Borok”
– Tulisan ini sudah pernah dipublikasikan di Koran Lintas Patroli, Suara Kontras dan Soerabaia NewsWeek (2009, update dan publish di LintasPatroli Tahun 2011\, *update Inhelnews 25/6/2018*
Catatan Redaksi Oase Indonesia News:
Jurnalis Harus Paham Pers Investigasi dan UU Pers
Tinggalkan Balasan