H Mulyadi dan rumah 2 Lantai yang diwakafkan jadi Musholla.
JAKARTA, Oase I News.com – Malam Sabtu solat Tahajjud, malam Minggu Tahajjud dan malam Senin Tahajjud. Malam Senin Tahajjud dan sempat solat subuh terlambat. Ketika solat Tahajjud malam Senin itulah ada semacam bisikan agar rumah jangan ditukar, tetapi harus diwakafkan menjadi musola.
by Mangarahon Dongoran
Jumat (4/9). Multazam. Hampir semua umat Islam, terutama yang sudah melaksanakan Ibadah Haji dan Umrah tahu nama itu. Multazam merupakan bagian dari Ka’bah yang mulia, yang terdapat di antara Hajaral Aswad dan pintu Ka’bah. Multazam adalah salah satu tempat yang diyakini umat Islam sebagai tempat yang paling mustazab untuk memanjatkan do’a kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Al-Multazam. Nama itu pun diberikan pada sebuah musola yang berada di gang sempit, di Jalan Slipi Kebun Sayur Rt 12 Rw 03, Kemanggisan, Kelurahan Palmerah, Jakarta Barat. Ya, musola tersebut berada di antara dempetan rumah penduduk yang sangat padat.
Berada di pemukiman padat bisa dimaklumi karena musola ini juga awalnya adalah sebuah rumah tinggal. Bangunan dua lantai yang berdiri di atas tanah 80 meter persegi itu adalah wakaf dari H.Mulyadi (52 tahun) dan keluarga.
Jika sekedar tanah wakaf tentu sudah biasa juga dijumpai pada maasjid dan musola yang sejak awal pembangunannya diperuntukkan bagi tempat ibadah kaum Muslimin itu. Akan tetapi, sebuah bangunan rumah tinggal yang kemudian diwakafkan menjadi musola tentu berbeda ceritanya dan jarang terjadi, apalagi berada di kawasan padat penduduk. Rata-rata menilai, yang tinggal di kawasan padat identik dengan kelas ekonomi menengah ke bawah.
Awalnya saya mendapatkan cerita tentang wakaf ini ketika saya solat di musola itu. Ada cerita unik dan kurang masuk akal. Katanya, anak H. Mulyadi sempat jatuh dari lantai dua musola itu. Jatuh karena sang pemilik rumah sempat berubah niat. Awalnya berniat mau mewakafkan secara total rumahnya untuk musola, kemudian berubah niat menjualnya dan sebagian uangnya disumbangkan untuk membangun musola. Akan tetapi, kalau Allah Subhanahu Wa Ta’ala berkehendak, apa pun bisa terjadi.
Cerita jemaah seusai solat Ashar tersebut kemudian saya cocokkan dengan Mulyadi. Ceritanya hampir sama. Ia yang ditemui di tempat usahanya, Jagal Mania di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten mengiyakan cerita yang saya peroleh itu, walau agak berbeda sedikit.
Ia pun menceritakan asal-muasal rumahnya itu diwakafkan menjadi musola. “Saya itu anak jalanan. Tidak mengerti agama Islam. Tahu Islam, tapi tidak dipelajari,” katanya mengawali ceritanya.
Menurut Mulyadi, ia “anak jalanan” yang sudah biasa berjualan daging sapi dan menjadi jagal sapi. Ceritanya, tahun 2003, ada pedagang daging di Pasar Bendungan Hilir (Benhil), Jakarta Pusat, tiba-tiba mengajaknya menunaikan Ibadah Haji. “Tahun 2003, Pak Cecep mengajak saya naik haji. Waktu itu ongkos kalau tidak salah Rp 23 juta. Ya, ajakan itu saya terima dan langsung mendaftar. Waktu itu, daftar bisa langsung berangkat. Pergi haji sekalian belajar agama. Ya belajar solat dan lainnya,” ujar Mulyadi dalam perbincangan dengan penulis, Senin, 31 Agustus 2020 malam.
Menurut pengakuannya, sejak diajak naik haji dan kemudian mendaftar itulah ia benar-benar belajar solat. Ia pun dengan tekun dan khusuk belajar dan beribadah.
Ia mendengarkan ceramah dari ustaz, kalau naik haji perbanyak berdoa di Multazam. Apa yang didengarnya itu dilakukannya saat tiba di Tanah Suci. Multazam di dalam Masjidil Haram menjadi tempat ia senantiasa memanjatkan doa.
Suatu ketika, saat berdoa di Multazam, ada semacam bisikan kepadanya agar rumah tempat tinggalnya dijadikan musola. Di dalam hatinya, ia pun memgatakan, sepulang ke Indonesia akan mewakafkan rumahnya menjadi musola. Padahal, ia belum memiliki rumah kedua.
Waktu itu, ia sudah memiliki tempat jagal atau pemotongan sapi seluas 3000 meter persegi yang dia kontrak Rp 50 juta per tahun. Akan tetapi, ia sudah bertekad bulat menjadikan rumahnya itu menjadi musola.
Setiba di Indonesia, ia mengutarakan niat itu kepada keluarga. Keluarga tentu tidak keberatan jika rumah yang dibeli tahun 2001 seharga Rp 50 juta itu diwakafkan. Mendengar ceritanya yang ingin mewakafkan rumah tersebut, godaan setan justru datang.
Padahal, ia sudah semakin rajin beribadah, terutama solat wajib dan sunnah. Suatu ketika, tetangga di depan rumahnya menawarkan agar tukar-menukar rumah.
“Ketika itu, sambil jalan pulang solat Jumat, Pak Wari, tetangga di depan rumah saya menawarkan agar tukaran rumah. Luas rumah Pak Wari 100 meter per segi. Kan itu lebih luas dari rumah saya yang 80 meter per segi. Selain itu, Pak Wari juga menawarkan tambahan uang Rp 50 juta,” kata Mulyadi yang sehari-hari dipanggil Pak Mul itu.
Tawaran itu pun diterimanya. Sebab, ia bertekad rumah tukar-tambah dengan Wari itu tetap diwakafkan menjadi musola.
“Sepulang shalat Jum’at saya iakan tukar rumah, sore harinya anak saya, Yusuf Shoopy Sugandha jatuh dari lantai dua. Langsung dibawa ke RS Patra Ika yang tidak jauh dari rumah. Rumah sakit tersebut merujuk ke RS Harapan Kita. Tapi RS Harapan Kita juga menolak dan merujuk ke RS Tjipto Mangunkusumo. Ya, anak saya yang masih TK dibawa menggunakan ambulans dari rumah sakit pertama sampai ke RS Tjipto,” katanya mengenang peristiwa itu.
Sejak jatuh anaknya tidak sadar. Sebab, jatuh dari lantai dua dengan posisi kepala belakang membentur jalan gang di depan rumahnya. Ya, jatuhnya telentang dan kepalanya membentur benda keras berupa jalan gang yang dibeton.
Tiga hari tiga malam anaknya dirawat di RS Tjipto dalam kondisi tidak sadar atau koma. Sejak dirawat di RS Tipto Sabtu malam, Mul selalu melaksanakan solat Tahajjud di musola yang ada di rumah sakit itu.
Malam Sabtu Tahajjud, malam Minggu Tahajjud dan malam Senin Tahajjud. Malam Senin Tahajjud dan sampai solat subuh terlambat karena tertidur. Ketika solat Tahajjud malam Senin itulah ada suara, membisikkan agar rumah jangan ditukar, tetapi harus diwakafkan menjadi musola.
“Selesai solat subuh, saya telefon Pak Wari. Saya kabarkan, tidak jadi tukar rumah,” katanya. Wari pun memakluminya.
Mul menceritakan peristiwa luar biasa dialami anaknya. Senin, selesai solat Dhuha, anaknya sadar dan langsung memanggilnya. Anak saya langsung panggil saya, “Ayah…” “Itu terjadi setelah saya selesai Dhuha,” ujar pria yang rajin puasa Senin dan Kamis itu.
Semestinya, Senin siang atau sore sudah bisa keluar dari rumah sakit. Akan tetapi, dokter memutuskan keluar Selasa. Padahal, anaknya yang kini sudah kuliah itu, sudah normal.
Peristiwa di bulan Muharram tahun 2003 itu, sempat menjadi pemberitaan harian terkemuka di ibukota, karena dianggap bayi ajaib.
Selasa, anaknya keluar dari RS Tjipto. Akan tetapi, Mulyadi dan keluarga tidak pulang ke rumah tinggal mereka. Ia memilih membonyong seluruh keluarganya ke tempat kontrakan yang dia jadikan tempat usaha jagal sapi. Sejak pulang dari rumah sakit itu, Mul dan keluarga tidak pernah lagi tinggal di rumah mereka. Langsung diwakafkan menjadi musola.
“‘Saya tidak mau pulang ke sana (rumah tempat anaknya jatuh), melainkan ke kotrakan ini, “katanya merujuk tempat usahanya yang akhirnya dia beli seharga Rp 1, 2 miliar. Kini, tempat usaha pemotongan hewan miliknya (potong sapi dan ayam), sudah ditawar pengembang perumahan terkenal seharga Rp 30 miliar. Namun, ia tidak menjualnya.
Satu tahun setelah peristiwa anaknya jatuh (2004), ia mampu membeli 12 unit rumah yang ukurannya lebih luas dan lebih mewah dari yang diwakafkan menjadi musola. Termasuk membeli rumah tinggalnya sekarang, di Villa Mutiara, tidak jauh dari Stasiun Kereta Api Sudimara.
“Allah ganti, tidak hanya ganti satu. 12 rumah Allah ganti. Dalam jangka satu tahun,” katanya.
Secara total, tiga tahun setelah mewakafkan rumah menjadi musola, Mul mampu membeli 12 unit rumah (sekarang tinggal 5 unit, karena sebagian dijual), membeli lahan pemotongan hewan seharga Rp 1,2.miliar, dan juga membeli sebuah villa di Kawasan Cipanas, Puncak, Jawa Barat. Villa tersebut tidak disewakan. Hanya digunakan untuk acara keluarga, dan acara keislaman, termasuk untuk acara anak-anak yatim-piatu.
Bisnis ayah dari empat orang anak ini terus berkembang. Kini ia mempekerjakan 60 orang, dan terbanyak di pemotongan ayam..
Meski bisnis terus berkembang, namun selama wabah Corona Virus Disaeda 2019 (Covid-19), ia juga merasakan dampaknya. Sebelum Covid-19 atau hari-hari normal ia mampu memotong 30 ekor sapi per hari. “Sekarang turun jauh,” kata Mul yang mengaku sempat dipinjamkan modal Rp 300 juta dari seseorang.
Yang masih bagus pemotongan ayam. Meski turun, tapi masih mampu memasok dua truk atau 3.000 ekor ayam potong per hari ke berbagai restoran.
Sebelum Covid-19, bisa memasok 4.500 sampai 6.000 ekor per hari.
“Sekarang tidak ada instansi yang memesan. Kalau sebelum corona, banyak instansi yang memesan daging sapi dan ayam. Misalnya, perusahaan pelayaran,” katanya. ( SRY – Mangarahon Dongoran, FNN )
Tinggalkan Balasan