Oleh : M. Rizal Fadillah (Pemerhati Politik dan Kebangsaan)
Oase I news.Com, Bandung-Milisi Pejuang Taliban pimpinan Hibatullah Akhundzada menang Perang Afganistan melawan tentara Amerika Serikat dan sekutunya pasukan NATO dan juga melawan pasukan rezim boneka mantan Presiden Ashraf Ghani yang tumbang dan melarikan diri ke negara Tajikistan. Ashraf Ghani sang pemimpin BONEKA LARI TUNGGANG LANGGANG keluar negeri dan umat Islam dari berbagai penjuru dunia merasa senang dengan kemenangan para Pejuang Taliban tersebut.
Sebagai kekuatan Islam puritan di Afghanistan yang selalu dipojokkan bahkan dikualifikasi sebagai kelompok radikal bahkan teroris, kesuksesannya menjadi perhatian dunia. Uniknya setelah kembali berkuasa Taliban justru menuai harapan Afghanistan yang lebih baik ke depan. Dan pimpinan baru Presiden Afganistan adalah Abdul Ghani Baradar.
Awalnya dulu rezim boneka Sovyet Komunis Babrak Karmal menjadi Presiden setelah menggulingkan dan mengeksekusi mati Hafizullah Amin. Dan saat itu gabungan kekuatan Mujahidin pimpinan Gulbuddin Hekmatyar melakukan perlawanan dan berhasil mengambil alih kekuasaan. Namun yang terjadi adalah perang saudara. Faksi baru Taliban sukses merebut kekuasaan yang kemudian digulingkan oleh invasi Amerika Serikat pada tahun 2001 pasca serangan Menara kembar WTC Amerika Serikat oleh Osama Bin Laden. Dan Ashraf Ghani menggantikan Hamid Karzai boneka Amerika Serikat pertama. Dan sekarang Taliban mengusir Ashraf Ghani dan berhasil berkuasa di Afghanistan untuk kedua kalinya.
Sebelum sukses seperti saat ini, delegasi Taliban pernah datang ke Indonesia untuk membangun hubungan baik. Jusuf Kalla menjadi figur penting dari persahabatan ini. Dan saat bangsa Indonesia merayakan HUT kemerdekaan ke-76 kemarin Taliban mengucapkan selamat dan menyatakan kemenangan perjuangan Taliban serupa dengan Perjuangan bangsa Indonesia yang telah memerdekakan negaranya dari penjajah asing.
Kemenangan Taliban dapat membuat ketar-ketir rezim yang cenderung memusuhi umat Islam. Penyematan Islam radikal, intoleran, bahkan ekstrem adalah bukti tiada penghargaan dan persahabatan kepada umat. Kriminalisasi ulama dan tokoh Islam adalah bukti lanjutan. Sesungguhnya aneh pemimpin negara ini justru cenderung mengeliminasi kekuatan Islam.
Benar Taliban itu di Afghanistan bukan di Indonesia tapi pemimpin negara Indonesia harusnya sadar bahwa umat Islam dimana pun adalah pejuang. Bukan umat yang mudah untuk dikuyo-kuyo. Taliban memberi pelajaran bahwa penjajah itu cepat atau lambat akan dikalahkan.
Pemerintah Jokowi seharusnya jangan memusuhi dan meminggirkan kekuatan umat Islam. Karena hal demikian di samping hal historis tetapi juga mengabaikan fakta politik. Dampaknya akan buruk, bukan saja menjadi catatan hitam sejarah tetapi juga akan terus mendapat perlawanan.
Andai Pemerintah segera membebaskan HRS, mengusut pelanggaran HAM berat pembunuhan 6 laskar FPI, melepas tokoh KAMI yang diadili, serta mengubah kebijakan politik anti Islam, maka Jokowi mungkin akan selamat.
Taliban sudah pasti tidak berkaitan dengan Indonesia namun persoalan keumatan dan kekuasaan berlaku universal. Spiritnya sama yaitu tidak boleh ada penjajahan dan tindakan sewenang-wenang. Agama yang dimusuhi dan dikecilkan adalah jalan menuju keruntuhan dan malapetaka.
Keberhasilan Taliban itu di luar dugaan semua pihak. Amerika Serikat pun kaget atas cepatnya Taliban merebut Istana.
Semoga Pemerintah Indonesia juga semakin arif dan bijaksana. Perubahan itu sering terjadi dengan cepat dan tiba-tiba.
“Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu (kesenangan) untuk mereka. Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang diberikan, Kami turunkan siksa secara tiba-tiba (baghtatan), maka ketika itu mereka terdiam putus asa” (QS Al An’am 44).
( Simon)
Tinggalkan Balasan