Oase I news.com,Jakarta- Partai Politk adalah ‘Properti Nasional” sehingga dibutuhkan kesungguhan untuk menata kearah perbaikan agar sejalan dengan kaidah demokrasi konstitusional. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia, Dr. Fahri Bachmid, SH. MH, membela pengacara kondang Prof. Yusril Ihza Mahendra dari penilaian pengamat politik dan kebangsaan M. Rizal Fadillah terkait uji materi AD/ART Partai Demokrat 2020 ke Mahkamah Agung (MA). Menurut Fahri Bachmid, analisis serta penilaian M Rizal Fadillah yang menyalahkan Yusril tersebut harus diluruskan secara proporsional agar publik mendapat suguhan informasi yang sehat, konstruktif serta edukatif.
“Ini agar tidak tercipta suatu produk analisis yang distorsif dan Bayes ditengah publik,” ujar Fahri Bachmid, dalam keterangan tertulisnya yang diterima MediaBantenCyber.co.id pada Minggu (03/10/2021) siang.
Menurut Fahri Bachmid, penilaian M Rizal Fadillah yang seolah menyalahkan Yusril karena membela empat kader Demokrat yang dipecat Agus Harimurti Yudhoyono tersebut sangat subjektif dan politis dan M Rizal Fadillah tidak memandang persoalan tersebut secara lebih substansial dan komprehensif dengan mengunakan optik teori ilmu hukum, atau dalam bingkai kekuasaan lembaga peradilan,
Selain itu, kata Fahri, M Rizal Fadillah juga tidak memandang permohonan yang dilayangkan Yusril ke MA secara akademik dengan mengunakan parameter yang jauh lebih filosofis untuk memahami pokok persoalan yang sesungguhnya, bagaimana bisa langkah serta upaya legal konstitusional bagi pencari keadilan melalui sarana hukum yang sah bisa dinilai sebaliknya? atau dianggap sebagai sesuatu yang destruktif dan berbahaya,?
“Jika itu cara pandangnya maka sesungguhnya telah terjadi “Logical fallacy” yang pada hakikatnya jauh lebih berbahaya dari pada potensi kakacauan hukum dan politik seperti prediksi imajiner M. Rizal Fadillah,” tukas Fahri Bachmid.
Fahri Bachmid, kemudian mengulas secara gamblang kenapa Yusril membela empat kader Demokrat yang dipecat AHY dengan langkah hukum mengajukan uji materi AD/ART Demokrat ke MA. Menurut dia, wajar jika kader yang dipecat AHY dan dibela Yusril tersebut mencari keadilan. Dan semua pihak harus menghormatinya sebagai konsekuensi dari penerapan prinsip sebuah negara hukum,
“Maka hal yang sangat esensial dalam suatu negara hukum adalah upaya untuk menyelesaikan perselisihan diantara sesama warga negara secara adil dan damai, dan pengadilan adalah alat/media penyelesaian sengketa yang bermartabat dan terhormat, sehingga segala perdebatan secara yuridis, akademik dan argumentatif oleh pihak-pihak yang berkepentingan idealnya dilangsungkan dipengadilan secara fair dengan saling mengajukan alat bukti serta uji fakta, sehingga prosesnya dapat berlangsung secara kondusif dan dapat diterima dengan penuh tanggung jawab, sesuai prinsip-prinsip nomokrasi itu sendiri, yaitu tercipta suatu tatanan kehidupan masyarakat yang tertib dan damai,” papar Fahri.
Pada level ini, Fahri melanjutkan, semua pihak haruslah menerima “legal action” ini sebagai sebuah langkah dan keputusan yang bersifat terobosan “breakthrough” tentunya suatu terobosan yang cerdas dan tepat jika dilihat dari aspek ilmu hukum yang tentunya di lindungi oleh konstitusi.
Menurut Fahri, perdebatan uji materi terhadap AD/ART Partai Demokrat ke MA idealnya jangan dicampuradukan secara politis, agar sebangun dengan spirit serta kehendak pencari keadilan itu sendiri, yang mana telah mengarahkan perselisihan ini ke koridor hukum, dan tidak membangun opini atas perselisihan itu menjadi isu politis atau perdebatan kusir dan liar yang tidak ada ilmunya.
“Sejak semula para pencari keadilan yaitu 4 kader Demokrat tu lebih memilih penyelesaian melalui mekanisme peradilan yang jauh lebih beradab daripada membangun perselisihan pada ruang-ruang publik atau yang tidak pada tempatnya,” tandas Fahri.
Fahri Bachmid mengatakan, Permohonan Pengujian Formiil atas prosedur pembentukan AD/ART Demokrat 2020; dan dan Pengujian Materiil atas muatan pasal-pasal yang termaktub dalam AD/ART 2020 yang telah disahkan oleh Menkumham bernomor Nomor: M.H-09.AH.11.01 Tahun 2020 adalah murni masalah yuridis yang tidak perlu ditafsirkan, atau sengaja membangun tafsir yang bercorak politis. Dengan demikian, sangatlah elok, jika segala berdebatan sedapat mungkin di orientasikan pada perdebatan yang jauh lebih akademik dan konstitusional dan bukan perdebatan kusir yang bersifat politis.
“Sesungguhnya isu hukum yang dikemukakan oleh Pemohon dalam Permohonan JR AD/ART ke MA ini adalah terkait dengan Perubahan AD ART Partai Demokrat Tahun 2015 menjadi AD ART Partai Demokrat Tahun 2020 yang secara formiil dibentuk dengan cara-cara yang tidak diketahui oleh peserta Kongres 2020 itu sendiri, yang di dalamnya ternyata terdapat perubahan-perubahan fundamental organ-organ partai, terutama kedudukan Majelis Tinggi Partai Demokrat, kedudukan Ketua Umum, mekanisme pelaksanaan kongres luar biasa, dan mekanisme penyelesaian sengketa internal Partai Demokrat,” kata Fahri Bachmid.
Dari perubahan-perubahan tersebut Majelis Tinggi dan Ketua Umum Partai Demokrat diberikan kewenangan yang sangat besar sehingga menggeser asas kedaulatan seluruh anggota. Dan Perubahan ini, menurut Fahri, telah menyebabkan Partai Demokrat bukan lagi sebuah partai demokratis, melainkan berpotensi menjadikanya sebagai sebuah partai yang oligarkis, feodal dan “Opresif” yang bertentangan dengan norma-norma konstitusi di dalam UUD NRI 1945 dan UU Parpol.
“Sehingga tepat, jika pihak-pihak yang berkepentingan telah harus mengeser perdebatan ini menjadi perdebatan yuridis yang lebih argumentatif akademis kedalam ruang persidangan, daripada membangun tafsir politis serta agitatif yang kering substansi,” paparnya.
Menurut Fahri, sesungguhnya, Permohonan JR AD/ART Demokrat era AHY ke MA tersebut merupakan suatu isu sekaligus permasalahan negara yang harus dipecahkan secara serius dan tuntas melalui suatu terobosan hukum dan keputusan yang lebih prospektif serta futuristik untuk perbaikan “kesisteman” partai politik di Indonesia kedepan, dalam bingkai prinsip negara hukum yang demokratis serta demokrasi konstitusional, oleh karena Partai Politik adalah “Properti Nasional” yang tentunya membutuhkan kesungguhan untuk didesain sedemikian rupa agar sejalan dengan kaidah-kaidah demokrasi konstitusional,
Ketika Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra,S.H.,M.Sc mengajukan permohonan ini ke MA, Kita secara sadar harus mahfum bahwa masalah AD/ART Partai Politik dari sisi peraturan perundang-undangan dalam hal penormaan memang luput menjangkau serta mengatur soal masalah pelembagaan pranata pengujian norma AD/ART Parpol ini,” pungkasnya.
“Sebab, secara hipotetis jika kita mengajukan pertanyaan yuridis bahwa bagaimana bila AD/ART parpol bertentangan dengan misi dan tujuan parpol seperti yang diatur dalam perundang-undangan partai politik? karena UU No. 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik hanya mengharuskan bahwa AD/ART sebuah parpol memuat visi dan misi, azas dan ciri, nama, lambang, tanda gambar, kepengurusan dan mekanisme pemberhentian anggota,” katanya.
Fahri menyebutkan, tidak ada satupun perintah yang bersifat imperatif dan mewajibkan bagi parpol agar AD/ART mereka sejalan dengan tujuan parpol yang dimandatkan oleh norma peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi diatasnya. Sedangkan disisi lain AD/ART adalah peraturan dasar yang mengatur secara internal parpol, anggota parpol bisa diberhentikan karena melanggar AD/ART partai politik. Dengan demikian, lanjut Fahri, jika corak dan karaker kepemimpinan parpol yang despotisme, oligarkis, elitisme, serta feodalistik maka tentu secara hukum sudah tidak sejalan dengan tujuan asasi parpol untuk mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat sesuai perintah peraturan perundang-undangan.
“Memang jika dilihat secara lebih seksama dan mendalam, terkait ketiadaan aturan hukum “legal vacuum” yang dapat menjangkau fenomena hukum tersebut di internal parpol, jika suatu AD/ART melanggar konstitusi atau UU diatasnya, maka yang dibutuhkan adalah suatu langkah terobosan “breakthrough” secara hukum sema-mata untuk tercipta tertib norma hukum secara berjenjang,” lanjut Fahri.
Menurut Fahri, proses pengajuan judicial review AD/ART Demokrat ke MA tersebut secara yuridis akan berimplikasi menjadi terobosan hukum “rule breaking” penting dan signifikan dalam tata hukum nasional oleh MA. Dan secara teoritik hal tersebut sangat dibolehkan kalau bukan dikatakan dianjurkan. Artinya, kata Fahri, ada implikasi yang ditimbulkan dengan adanya kekosongan hukum terhadap hal-hal atau keadaan yang tidak atau belum diatur itu dapat terjadi ketidakpastian hukum itu sendiri “rechtsonzekerheid” atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan di masyarakat, yang lebih jauh lagi akan berakibat kepada kekacauan hukum “rechtsverwarring”. Dan itulah urgensi dan pentingnya dari “lagal action” ini sesungguhnya.
“Sehingga berangkat dari keadaan serta kebutuhan itu, maka idealnya pengaturan terhadap produk AD/ART Partai Politik telah harus diciptakan pranata pengujiannya oleh kekuasaan yudisial sesuai orientasi cita-cita negara hukum. Partai Politik berkedudukan sebagai badan hukum publik sesuai putusan MK.
Pasal 3 ayat (1) UU 2/2011 menyebutkan “Partai Politik harus didaftarkan ke Kementerian untuk menjadi badan hukum”.
Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 34 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Pendirian Badan Hukum, Perubahan AD/ART, serta Perubahan Kepengurusan Partai Politik (Permenkumham 34/2017) menyebutkan bahwa “pendaftaran partai politik” adalah pendaftaran pendirian dan pembentukan partai politik untuk mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum partai politik.
Selanjutnya Pasal 1 angka 2 Permenkumham 34/2017 kemudian menyebutkan “Badan Hukum Partai Politik adalah subjek hukum berupa organisasi partai politik yang telah mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, eksistensi Parpol sebagai Badan Hukum Publik juga telah ditegaskan dalam putusan MK Nomor 60/PUU- XV/2017 dan Putusan Nomor 48/PUU- XVI/2018, dimana MK telah menerima permohonan sebagai pihak Pemohon dan membenarkan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon sebagai “badan hukum publik” sesuai ketentuan Pasal 3 Peraturan MK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang Undang,
“Dengan demikian judicial review atas legalitas suatu AD/ART partai sesungguhnya merupakan kontrol hukum terhadap proses politik, yaitu penyusunan AD/ART yang dilakukan oleh internal partai politik,” tegas Fahri Bachmid
Urgensi judicial review sebagai alat kontrol yudisial terhadap konsistensi norma atas produk hukum partai politik dalam bentuk AD/ART dengan UU sebagai peraturan yang lebih tinggi dalam rangka menegakkan aturan-aturan hukum, termasuk dan tidak terkecuali AD/ART partai politik sehingga diperlukan adanya institusi serta instrumen kekuasaan kehakiman “judicative power” yang diselenggarakan oleh badan-badan peradilan negara.
Tugas pokok badan peradilan adalah memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh masyarakat pencari keadilan. Pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman adalah hakim.
“Ahirnya, persoalan dan konteks ini harus diletakan pada suatu pemahaman bahwa ini merupakan sebuah “Ijtihad konstitusional” atau suatu langkah secara “legal konstitusional” ditempuh untuk mengatasi kekosongan hukum problem pengujian norma AD/ART Parpol serta kontrol yudisial atas fenomena praktik despotisme, oligarkis, dan opresif partai politik dalam pembentukan aturan pokok partai politik itu sendiri,” tutup Fahri Bachmid.
( Simon)
Tinggalkan Balasan