Din Syamsuddin dan JK Sebut kasus Meiliana Protes Volume Azan Bukanlah Penistaan Agama

Wakil Presiden Jusuf Kalla juga menilai terdakwa kasus penistaan agama, Meiliana, yang divonis 1,5 tahun penjara karena protes suara azan semestinya tak dipidana.

Jakarta – Oase INews.com – Din Syamsuddin Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI)  ahkirnya buka suara menilai protes pada kerasnya volume pengeras suara azan bukan bentuk penistaan agama.

Din menanggapi kasus viral yang menjerat Meiliana, warga asal Tanjung Balai, Sumatera Utara yang divonis 1,5 tahun karena dianggap menodakan agama atas keluhannya terkait volume suara azan.

“Pada hemat saya, memprotes suara azan yang keras dan mengganggu tetangga bukanlah penistaan agama,” kata Din melalui keterangan tertulisnya, Minggu (26/8).

Baginya, tindakan seseorang dapat dikategorikan sebagai penodaan agama jika sudah memasuki ranah penghinanya di ritual keagamaan.

Misalkan saja contoh sesorang menjelekkan ritual umat beragama, termasuk azan. tapi jika hanya mengeluh saja tentang volume, tidak serta merta diartikan kalau sesorang tersebut telah menistakan agama.

“Kalau menyalahkan azan sebagai ritual keagamaan dengan penilaian negatif dan sinis bisa dianggap menista,” kata Din.

Din menanggapi Kasus Meiliana, warga Tanjung Balai, Sumatera Utara divonis 18 bulan penjara karena memprotes volume pengeras suara azan di lingkunganya. Ia dinilai melanggar pasal penodaan agama.

Ranto Sabrani pengacara Meiliana mengatakan pihaknya akan terus mengajukan banding atas putusan vonis 1,5 tahun yang diberikan oleh majelis hakim.

Din yang Mantan Ketua PP Muhammadiyah ini menilai besar atau kecilnya volume suara azan memang perlu menjadi perhatian.

karena di indonesia terdiri dari masyarakat yang majemuk dan terdiri dari banyak agama, Ini demi menjaga kenyamanan bersama.

Jika suara azan yang dikumandangkan membuat nyaman justru akan menggugah hati warga setempat kata Din.

“Memang sebaiknya, suara azan terutama di lingkungan yang majemuk (terdapat non Muslim) perlu menjaga kenyamanan. Jangan-jangan suara adzan yang lembut dan merdu dapat menggugah non Muslim untuk menyukai adzan,” jelas Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini.

dilain tempat Wakil Presiden Jusuf Kalla juga menilai terdakwa kasus penistaan agama, Meiliana, yang divonis 1,5 tahun penjara karena protes suara azan semestinya tak dipidana.

Karena Menurutnya , protes yang dilakukan Meiliana itu adalah merupakan hal yang wajar.

“Itu seharusnya tidak dipidana. Dewan masjid saja menyarankan jangan terlalu keras kan (suara azan),” ujar JK di kantor wakil presiden melalui rekaman video yang dibagikan Sekretariat Wakil Presiden, Kamis (23/8).

Menurut wakil presiden yang dikenal dengan bapak perdamaian tersebut permasalahan yang menimpa Meiliana seharusnya hukum dikaji lebih lanjut.

Sebab bisa saja yang diprotes bukan suara azan melainkan pengajian yang juga kerap diputar dengan suara keras.

JK yang juga selaku sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI), mengaku telah memiliki aturan tentang suara azan dan pengajian yang diperbolehkan diputar di masjid.

“Dalam proses azan itu hanya tiga menit, tidak lebih dari itu. Mengaji juga tidak boleh pakai tape (rekaman) harus mengaji langsung, itu juga jangan lebih lima menit,” katanya.

JK menyatakan DMI pada kasus kasus sebelumnya sudah berulang kali meminta masjid-masjid agar membatasi waktu azan maupun pengajian sehingga jika waktu azan dan pengajian itu digabung tak lebih dari 10 menit.

Menurut JK, apabila suara azan atau pengajian di suatu masjid terlalu keras akan mengganggu suara di masjid yang lain.

“Jadi tidak perlu terlalu lama karena (memikirkan) jarak antarmasjid yang rata-rata 500 meter di daerah padat. Itu perlu agar tidak melampaui masjid yang lainnya,” ucap JK.

“Masjid juga kalau mengaji jangan terlalu malam, harus menghormati orang. Azan juga wajib, tapi jangan terlalu keras suaranya,” katanya menambahkan.

Sebelumnya Majelis Hakim PN Medan menyatakan Meiliana bersalah melakukan penistaan agama seperti yang diatur dalam pasal 156A KUHP.

Keputusan itu dianggap kontroversial hingga menimbulkan petisi agar Meiliana dibebaskan.

Kemenag dalam Instruksi Dirjen Binmas Islam Kep/D/101/1978 telah mengatur penggunaan pengeras suara di masjid, langgar, dan musala.

Yang dibutuhkan disini adalah toleransi antar umat beragama, menciptakan suasana yang indah damai serta harmonis .

(luq*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *