KEMENPERIN FOKUS PACU KINERJA INDUSTRI BERORIENTASI EKSPOR DI 2019

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto pada Jumpa Pers Akhir Tahun 2018 di Jakarta, Rabu (19/12)

Jakarta, Oase I News.com – Kementerian Perindustrian akan fokus memacu kinerja lima sektor industri yang mendapat prioritas pengembangan sesuai peta jalan Making Indonesia 4.0. Lima sektor tersebut, yakni industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, elektronika, dan kimia.

“Jadi, pada tahun depan (2019), kami akan genjot sektor itu agar juga mampu meningkatkan ekspor, terutama yang punya kapasitas lebih. Selain itu dapat mendorong pengoptimalan tingkat komponen dalam negeri (TKDN),” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto pada Jumpa Pers Akhir Tahun 2018 di Jakarta, Rabu (19/12).

Menperin menjelaskan, langkah mendongkrak kinerja industri manufaktur berorientasi ekspor menjadi perhatian utama pemerintah guna memperbaiki neraca perdagangan sehingga semakin memperkuat struktur perekonomian nasional. “Apalagi, selama ini produk manufaktur sebagai kontributor terbesar pada nilai ekspor kita,” tegasnya.

Nilai ekspor dari industri pengolahan nonmigas hingga akhir 2018 nanti diperkirakan menembus USD 130,74 miliar. Capaian ini meningkat dibanding tahun sebelumnya sebesar USD 125,10 miliar. “Saat ini, ekspor produk industri telah memberikan kontribusi 72,28 persen dari total ekspor nasional,” imbuhnya.

Airlangga menyampaikan, pemerintah sedang merancang kebijakan pemberian insentif fiskal yang dapat memicu industri lebih giat melakukan ekspor. “Selain itu perlu dilakukan harmonisasi tarif dan revisi PPnBM untuk menggairahkan industri otomotif di Indonesia memproduksi kendaraan sedan sebagai upaya memenuhi kebutuhan pasar mencanegara, seperti ke Australia,” ungkapnya.

Berdasarkan data Kemenperin, pada Januari-Oktober 2018, industri otomotif di Indonesia mengekspor kendaraan roda dua dengan total nilai sebesar USD 1,3 miliar. Sedangkan, untuk kendaraan roda empat, dengan nilai USD 4,7 miliar.

“Potensi ekspor lainnya juga ditunjukkan oleh industri pakaian, tekstil, dan alas kaki. Kemudian, industri makanan dan minuman. Seperti di sektor kimia, industri semen juga kita genjot untuk ekspor, karena kapasitas saat ini sebesar 100 juta ton per tahun, sementara kebutuhan domestik 70 juta ton per tahun. Namun demikian, memang perlu diperhatikan kombinasi pasar domestik dan ekspor supaya volumenya meningkat,” paparnya.

Di samping itu, Menperin mengemukakan, Indonesia masih menjadi negara tujuan utama untuk lokasiinvestasi. Bahkan, adanya perang dagang antara Amerika Serikat dan China, dinilai membawa peluangbagi Indonesia. “Beberapa perusahaan ada yang sudah menyatakan minat investasi di Indonesia, seperti industri otomotif dari Korea dan Jerman. Juga ada salah satu perusahaan yang tengah melihat Batam untuk memproduksi smartphone,” sebutnya.

Hingga saat ini, investasi industri nonmigas diperkirakan mencapai Rp 226,18 triliun. Dari penanaman modal tersebut, total tenaga kerja di sektor industri yang telah terserap sebanyak 18,25 juta orang. Jumlah tersebut naik 17,4 persen dibanding tahun 2015 di angka 15,54 juta orang.

Kontribusi manufaktur

Pada kesempatan yang sama, Menperin menerangkan, saat ini realitas di negara-negara dunia bahwa kontribusi industri manufaktur terhadap perekonomian rata-rata sekitar 17 persen. Merujuk data World Bank Tahun 2017, lima negara yang industrinya mampu menyumbang di atas rata-rata tersebut, yakni China (28,8%), Korea Selatan (27%), Jepang (21%), Jerman (20,6%), dan Indonesia (20,5%).

“Jadi, ini disebut sebagai norma baru. Kalau dibandingkan dengan tahun 2000-an, konteksnya berbeda. Pertumbuhan di China saat ini juga single digit. Sekarang PDB kita sudah masuk klub USD 1 triliun,” ujarnya.

Oleh karena itu, dengan adanya peta jalan Making Indonesia 4.0, pemerintah ingin mengembalikan industri manufaktur menjadi sektor andalan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Pada saat ini, nilai tambah industri nonmigas mencapai USD 236,69 miliar atau meningkat dari capaian di 2015 sebesar USD212,04 miliar. Hal ini turut mempengaruhi peningkatan pangsa pasar terhadap industri manufaktur global, yang mencapai 1,84 persen di tahun 2018.

Untuk mendorong hilirisasi di sektor industri pengolahan kelapa sawit, Pemerintah telah menetapkan kebijakan Mandatory B-20 yang diproyeksikan meningkatkan pertumbuhan pasar domestik produk hilir minyak sawit hingga 6,5 persen serta menumbuhkan pasar ekspor sebesar 7,4 persen.

“Saat ini, rasio ekspor produk hilir di industri CPO sebesar 80 persen dibandingkan produk hulu. Investasi mencapai USD 1,2 miliar dengan penyerapan tenaga kerjalangusng sebanyak 2.000 orang dan 32.000 tenaga kerja tidak langsung,” paparnya. Pada 2019, pasokan biodiesel ditargetkan sebesar 6,1 juta ton yang didukung dengan pabrik biodiesel nasional berkapasitas terpasang mencapai 12,75 juta Kilo Liter.

Sementara itu, industri pengolahan kakao menikmati surplus hingga USD770 juta dengan peningkatan ekspor cocoa butter sebesar 19 persen dan cocoa powder 18 persen pada Januari-September 2018. Sedangkan, pertumbuhan di industri gula didukung oleh pembangunan tiga pabrik gula baru dengan total kapasitas 35.000 TCD.

“Di industri smelter, terdapat 24 proyek baru yang telah mencapai 100 persen. Total investasi smelter untuk stainless steel, tembaga, nikel dan aluminium mencapai Rp 311,5 triliun,” lanjutnya.

Menperin menambahkan, industri manufaktur juga menjadi penyumbang pajak dan cukai yang cukup tinggi. Hingga 30 November 2018, penerimaan pajak dari sektor industri pengolahan tumbuh 12,74 persen dengan nominal realisasi Rp 315,13 Triliun, kontribusinya sebesar 30 persen dari total seluruh penerimaan pajak. Sedangkan penerimaan cukai tumbuh 13,2 persen dengan realisasi Rp 123,3 triliun.

Pertumbuhan industri yang positif ditopang oleh pertumbuhan masing-masing subsektor industri. Subsektor industri dengan rataan pertumbuhan tertinggi antara lain makanan dan minuman (8,71%), barang logam, komputer, barang elektronika, mesin dan perlengkapan (4,02%), alat angkutan (3,67%), serta kimia (3,40%).Sektor industri pengolahan non-migas pada 2018 memberikan kontribusi 17,66% terhadap total PDB nasional. Ini merupakan kontribusi terbesar dibandingkan sektor-sektor lainnya.

Selanjutnya, populasi industri besar dan sedang bertambah sebesar 6 ribu unit usaha. Industri kecil mengalami penambahan jumlah industri yang mendapatkan izin sebanyak 10 ribu unit usaha. Dalam upaya penumbuhan industri kecil dan menengah, telah dilakukan melalui berbagai bimbingan teknis kepada para pelaku IKM.

Pada periode 2015-2018, sebanyak 40.668 wirausaha baru dengan berbagai komoditas mendapatkan pelatihan dari Kemenperin dan sebanyak 10.774 IKM memperoleh legalitas usaha pada periode sama.

“Program Santripreneur meningkatkan produktivitas dan memperkuat perekonomian masyarakat dengan pemberdayaan para santri. Hingga 2018, program Santripreneur telah menjangkau 14 pondok pesantren dan membina sekitar 3.200 santri,” tuturnya.

Tumbuh 5,4 persen

Menperin pun mengungkapkan, pertumbuhan industri non-migas diproyeksikan tumbuh 5,4 persen pada 2019. Sektor-sektor yang diproyeksikan tumbuh tinggi, di antaranya industri makanan dan minuman (9,86%), permesinan (7%), tekstil dan pakaian jadi (5,61%), serta kulit barang dari kulit dan alas kaki (5,40%).

“Selain itu, kami juga memacu di sektor kimia, dengan menggenjot produksi olefin dari methanol di Kawasan industri Teluk Bintuni, Papua Barat dengan nilai investasi USD 2,6 Miliar yang ditargetkan dapat berproduksi dengan kapasitas 2 juta ton per tahun dan mulai beroperasi tahun 2021,” paparnya.

Sedangkan di klaster Cilegon akan menghasilkan naphtha cracker dari dua perusahaan, yakni Chandra Asri Petrochemical dan Lotte Chemical dengan total kapasitas mencapai 4,5 juta ton per tahun yang akan mulai beroperasi secara bertahap pada 2019 hingga 2023.

“Pada tahun 2019, sektor IKM ditargetkan menghasilkan 5.000 wirausaha baru, mengikutsertakan 5.000 IKM dalam program e-Smart IKM dan 20 pesantren dalam program Santripreneur,” imbuhnya.

Pada tahun 2019, pemerintah akan semakin gencar melaksanakan program pendidikan dan pelatihan vokasi dalam meningkatkan kompetensi sumber daya manusia. Dengan anggaran sebesar Rp 1,78 triliun, Kemenperin menyelenggarakan pendidikan vokasi industri berbasis kompetensi menuju dual system, serta membangun politeknik atau akademi komunitas di Kawasan industri.

“MIsalnya, yang sedang kami fasilitasi, antara lain pembangunan politeknik industri petrokimia di Cilegon dan politeknik industri agro di Lampung. Selain itu meluncurkan program Link & Match antara SMK dan industri di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan target melibatkan 2.600 SMK dan 750 industri,” ungkapnya.

Kemudian pelaksanaan program diklat 3 in 1 untuk 72.000 orang, pembangunan kompetensi dan sertifikasi kompetensi, dan pembangunan SDM industri dalam mengantisipasi era industri 4.0. “Dalam penerapan roadmap Making Indonesia 4.0, Kemenperin sedang merumuskan Indonesia Industry 4.0 Readiness Index atau INDI 4.0 pada 2019,” ujar Airlangga.

Menperin menambahkan, dengan terpilihnya Indonesia menjadi Official Partner Country di Hannover Messe 2020, Kemenperin akan berkesempatan memperkenalkan roadmap Making Indonesia 4.0 serta mendorong investasi di bidang manufaktur dan pengembangan infrastruktur digital.( S R Y )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *