Jakarta – OASE INews.com – Sungguh banyak yang aneh di pengadilan di negeri ini. Para penegak hukum kita cenderung berperilaku suka-suka dalam melaksanakan tugasnya. Tidak hanya jaksa yang dengan seenaknya membuat dakwaan ngibul seperti yang dilakukan oleh oknum JPU Budi Atmoko, SH, MH di PN Serang [1] [2], tapi juga di kalangan pengacara sering melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan hukum pada saat melakukan pembelaan terhadap klien-nya. Sudah jadi rahasia umum bahwa banyak pengacara yang rangkap jabatan, di satu sisi menjadi pembela, di sisi yang lain menjadi makelar kasus, bahkan makelar putusan [3].
Sebut saja salah satu kasus yang disidangkan di PN Jakarta Pusat dan PN Jakarta Selatan baru-baru ini yang menyidangkan perkara gugat-menggugat antar pengurus organisasi Asosiasi Pengusaha Komputer Indonesia (Apkomindo). Pada persidangan di PN Jakarta Pusat, Rabu (28 April 2021) lalu, yang dipimpin oleh Hakim Ketua Tuty Haryati, SH., MH., terlihat jelas dugaan penggunaan dokumen palsu oleh oknum pengacara Prof. Dr. Otto Hasibuan, SH, MH, dan kawan-kawannya pada perkara Nomor 633/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Sel yang disidangkan di PN Jakarta Selatan dan perkara Nomor 218/Pdt.G/2020/PN.Jkt.Pst di PN Jakarta Pusat.
Aneh bin ajaib, walaupun dokumen salinan Kepengurusan Apkomindo yang dijadikan alat bukti oleh penggugat melalui kuasa hukumnya, Otto Hasibuan, di persidangan itu abal-abal alias palsu, namun hakim PN Jakarta Selatan memenangkan pihak yang dibela oleh oknum pengacara bergelar professor tadi. Padahal semua bukti otentik berupa Surat Keputusan hasil Munas Apkomindo tahun 2015, foto-foto kegiatan Munas, dan arsip pemberitaan tentang Munas dan hasil-hasilnya, telah diserahkan kepada hakim oleh tergugat, Soegiharto Santoso alias Hoki, yang terpilih sebagai Ketua Umum Apkomindo saat itu. Bahkan, saksi-saksi yang dihadirkan Hoki telah memberikan keterangan yang kuat tanpa ragu tentang hasil keputusan Munas karena mereka adalah saksi fakta, hadir secara fisik di Munas tahun 2015 yang disengketakan tersebut. Tetapi semua itu ditepis oleh majelis hakim dan lebih mempercayai data dokumen palsu yang diajukan oleh pengacara Otto Hasibuan.
Publik akhirnya bertanya, masihkah pengadilan di tanah air ini dapat diandalkan sebagai tempat mencari kebenaran dan keadilan jika para pemangku kepentingan bidang hukum, terutama hakim, dapat dengan sesukanya mengabaikan fakta, data otentik, dan saksi fakta yang bersaksi di bawah sumpah dalam memutus perkara? Ataukah memang benar rumors di masyarakat bahwa kebenaran dan keadilan adalah milik mereka yang beruang?
“Saya merasa sangat prihatin atas penggunaan dokumen yang diduga dipalsukan tapi bisa menang dalam proses persidangan di PN Jaksel beberapa waktu lalu. Dan pada sidang di PN Jakarta Pusat hari ini menjadi semakin terungkap dengan terang-benderang (terkait dokumen dipalsukan – red). Sepertinya, Majelis Hakim di PN Jakarta Selatan yang diketuai H. Ratmono, SH., MH., kurang teliti atau khilaf dalam memutuskan perkara Nomor 633/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Sel itu,” ungkap Soegiharto Santoso seusai mengikuti persidangan di PN Jakarta Pusat, Rabu, 28 April 2021 lalu.
Sedikit mereview tentang kasus ini, diketahui bahwa Soegiharto Santoso alias Hoki telah terpilih secara sah sebagai Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Apkomindo pada Musyawarah Nasional (Munas) Apkomindo 2015 yang diselenggarakan pada 13 – 15 Februari 2015 di Jakarta [4]. Namun beberapa tokoh pendiri Apkomindo, katanya, yang dimotori oleh Sonny Franslay dan Rudi Rusdiah mendadak mengadakan Munaslub mendahului jadwal resmi Munas, pada tanggal 2 Februari 2015.
Dalam Munaslub tersebut tidak satupun perwakilan pengurus daerah yang hadir. Berbeda halnya dengan Munas, perwakilan dari pengurus daerah berdatangan dan mengikuti Munas yang sudah dijadwalkan dengan baik sesuai ketentuan AD/ART. Informasi tentang hasil Munaslub Februari 2015 itupun juga patut dipertanyakan, karena baru diberitakan pada Juni 2018 [5]. Berbeda dengan informasi hasil Munas Februari 2015 yang langsung dipublikasikan sehari setelah Munas selesai diselenggarakan.
Saat memberikan keterangan di persidangan PN Jakarta Pusat Rabu lalu, saksi fakta yang diajukan Soegiharto Santoso, Andy Ho, mengatakan bahwa pemilihan Ketua Umum Apkomindo versi Munaslub 2015 adalah politik kotor. Karena menurut saksi, pihak pengurus Apkomindo versi Munaslub ingin menjadikan asosiasi ini sebagai perusahaan terbatas atau kerajaan bisnis mereka.
“Saya dan Pak Hoki tidak mau dijadikan boneka, makanya pencalonan untuk menjadi ketua umum selalu dihalangi, Pak Hoki dan saya, sifatnya (pemikiran) sama. Untuk pemilihan ketua umum harus secara demokratis, bukan asal dibentuk, ditunjuk atau asal dikawinkan (ketum dan sekjen – red) sesuai keinginan mereka. Jadi ada perbedaan mindset di sini, dan tidak ada titik temu, serta Munaslub Apkomindo 2015 (yang dilaksanakan) mereka itu tidak sah,” ungkap Andy.
Dari sisi legalitas, Kepengurusan DPP Apkomindo yang diakui Pemerintah adalah kepengurusan versi Munas 2015. Hal ini dibuktikan dengan pengesahan kepengurusan oleh Kementerian Hukum dan HAM yakni kepengurusan yang dipimpin Soegiharto Santoso dan jajarannya.
Sejak munculnya dualisme kepengurusan versi Munas dan Munaslub itu, gugatan terhadap pengurus Apkomindo yang dipimpin Soegiharto Santoso terus dilakukan oleh kubu Munaslub dengan menggunakan dokumen yang diduga palsu. Perseteruan itu terus berlangsung hingga hari ini, pada saat kepengurusan DPP Apkomindo telah berpindah ke kepengurusan yang baru hasil Munas Apkomindo 2019 lalu. Pada Munas tersebut, kebetulan Soegiharto Santoso terpilih lagi sebagai Ketua Umum DPP Apkomindo untuk periode 2019 – 2023.
“Kepengurusan Apkomindo memiliki SK Dirjen AHU Kementrian Kumham RI sejak tahun 2012 saat Agustinus Sutandar terpilih sebagai Ketum. Juga, kepengurusan hasil Munas Apkomindo tahun 2015 dan tahun 2019 di bawah kepemimpinan saya telah memiliki SK Kemenkumham RI. Sedangkan mereka, kepengurusan versi Munaslub belum memiliki SK Kumham RI sama sekali,” beber Soegiharto yang juga merupakan pengelola media Biskom.Web.Id itu.
Fenomena hukum yang terkesan absurd tersebut menarik perhatian beberapa pihak. Salah satunya adalah alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA. Untuk mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, Lalengke menyempatkan diri menghadiri sidang di PN Jakarta Pusat, Rabu, 28 April 2021 lalu. Dia juga berusaha mewawancarai beberapa pihak, antara lain Soegiharto Santoso dan Andy Ho. Tokoh pers senior ini juga berupaya meminta keterangan dari pengacara Otto Hasibuan & Associates yang menjadi pembela kepengurusan versi Munaslub, Sordame Purba, SH. Sayangnya yang bersangkutan tidak bersedia memberikan tanggapan sama sekali.
Setelah mencermati kasus itu, Lalengke mengatakan bahwa kisruh yang terjadi tanpa henti di masyarakat sering disebabkan oleh para oknum hakim yang mengambil putusan tarhadap suatu perkara dengan mengabaikan fakta yang ada. Putusan sering sekali diatur atau direkayasa sedemikian rupa sesuai permintaan pihak tertentu dengan imbalan sejumlah rupiah yang disediakan untuk para oknum hakim tersebut. “Biasanya, dalam hal persidangan perdata maupun pidana, amplop-amplop bisa bertebaran di antara para penegak hukum yang terlibat dalam pemutusan sebuah perkara,” beber Lalengke yang sehari-harinya menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) ini.
Wilson berharap, dalam kasus ini tidak ada lagi pihak yang melakukan hal-hal yang salah dan tidak terpuji. “Kalau hakim itu menilai kasus ini dengan hati nurani dan dengan fakta-fakta yang ada, ya putuskanlah sesuai dengan fakta itu. Jadi jangan dipengaruhi oleh berbagai kepentingan pribadi,” tambah lulusan pasca sarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University, Inggris itu berharap.
Lalengke juga menyarankan kepada penasihat hukum atau pengacara yang merupakan pilar penting dalam penegakan kebenaran dan keadilan, mereka harus memposisikan dirinya sebagai wakil Tuhan di dunia ini. “Berupayalah mewujudkan keadilan dan kebenaran sesuai fakta yang ada di persidangan, jangan melakukan hal-hal yang tidak terpuji seperti yang saya lihat di persidangan ini terkait adanya rekayasa, pemalsuan dokumen dan hal-hal yang tidak singkron antara keterangan yang satu dengan keterangan yang lain, dokumen yang satu dengan dokumen yang lain. Dalam persidangan tadi terlihat secara terang-benderang dalam dokumen akta otentik di pengadilan, terjadi dugaan pemalsuan dokumen dan keterangan yang saling bertolak-belakang antara dokumen yang satu dan dokumen lainnya,’ ungkap pria yang juga menyelesaikan program pasca sarjanany di bidang Applied Ethics di Utrecht University, Belanda, dan Linkoping University, Swedia, ini.
Pada kesempatan yang sama, Hoki selaku penggugat pada perkara di PN Jakarta Pusat, juga mengutarakan bahwa pihak lawan (Sonny Franslay, dkk – red) memang pandai merekayasa hukum. Dalam kasus kisruh dualisme kepengurusan Apkomindo ini, dirinya sempat pula dikriminalisasi dan ditahan selama 43 hari, serta menjalani persidangan di PN Bantul sebanyak 35 kali atas laporan polisi yang dilayangkan kelompok tergugat di Bareskrim Polri.
“Namun hasilnya saya dibebaskan dan dinyatakan tidak bersalah. Termasuk saat JPU, Ansyori, SH, melakukan upaya kasasi, ditolak oleh MA. Sehingga saya tetap yakin dan percaya bahwa saya akan memperoleh keadilan karena sangat jelas sekali mereka diduga menggunakan dokumen palsu atau dokumen hasil rekasaya, baik di PN Jaksel maupun di PN Jakpus, yang saat ini telah semakin terungkap dengan terang-benderang,” tutup Hoki optimis. (APL/Red)
Tinggalkan Balasan