Jakarta, OASE INews.com
Istilah ‘harimau makan anaknya sendiri’ ini digunakan Wilson Lalengke, Ketua Umum Persatuan Pewarta warga Indonesia (PPWI), dalam tulisannya berjudul ‘Oknum Aparat Kriminalisasi Bhayangkari, Ibarat Harimau Lahap Anaknya Sendiri’ yang dimuat oleh ratusan media pada Agustus 2021 lalu [1]. Dalam artikel opini tersebut tokoh pers nasional yang getol membela warga terzolimi itu mengkritik keras perlakuan oknum Polresta Manado yang mengkriminalisasi Nina Muhammad, seorang Ibu Bhayangkari Polda Sulawesi Utara. Peribahasa ‘Sejahat-jahatnya harimau, ia tidak akan memakan anaknya sendiri’ tidak lagi berlaku belakangan ini. Demikian tulis Wilson Lalengke mengawali artikelnya itu.
Malangnya, nenek si anak harimau itupun tidak juga berbuat apa-apa untuk menyelamatkan cucunya yang sedang dilahap induknya. Mabes Polri sebagai unit tertinggi di institusi Kepolisian terkesan menikmati tontonan mengerikan itu dengan santai dan tidak melakukan apa-apa. “Bayangkan, laporan pengaduan masyarakat yang disampaikan Nina Muhammad ke Bareskrim Polri sejak Juli 2021 hingga saat ini belum jelas juntrungannya [2]. Artinya apa? Ya, sangat mungkin si nenek juga kecipratan amis darah anak harimau yang sedang dimangsa induknya itu,” kata alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 ini, Minggu, 20 Februari 2022.
Nina Muhammad akhirnya harus jadi bulan-bulanan oleh oknum Kejari Manado, yang dapat diduga kuat mendapat bagian dari persengkongkolan dengan para pihak berkepentingan dalam kasus ini. Bagaimana tidak, untuk kasus receh soal perselisihan akibat celoteh emak-emak di facebook antara Nina Muhammad sebagai terlapor dengan Soraya Deitje Tanod sebagai pelapor, oknum Kejari Manado merasa sangat urgent untuk memenjarakan Ibu Bhayangkari itu.
“Bahkan, ketika Nina Muhammad mendapat penagguhan penahanan atas jaminan Senator Maya Rumantir, oknum JPU dengan atraktif mengantarkan istri anggota Polri itu ke rumahnya menggunakan mobil tahanan seraya membunyikan sirine. Tujuannya apa? Ya, apalagi kalau bukan untuk menunjukan kepada sang bohir kasus ini bahwa si terdakwa telah dinistakan sedemikian rupa dan tidak punya harga diri lagi sebagai manusia,” tambah Lalengke dengan nada sinis.
Tiba di meja hijau, giliran oknum hakim yang terindikasi mendapat bagian terbesar dari perselingkuhan berbalut pasa-pasal hukum ini, menjalankan perannya. Oknum ketua majelis hakim, yang diduga kuat sebagai pemilik gedung kos-kosan mewah bernilai miliaran tanpa IMB di Kecamatan Tikala, Manado itu [3], melarang wartawan melakukan peliputan persidangan Nina Muhammad secara live dan tidak boleh merekam jalannya persidangan.
“Apa yang disembunyikan dalam proses persidangan Ibu Bhayangkari itu sehingga tidak boleh dilakukan perekaman video jalannya persidangan? Ya, tentu saja agar tidak terlihat gelagat keberpihakan oknum majelis hakim di mata publik,” tegas Lalengke.
Esok, Senin, 21 Februari 2022, Nina Muhammad akan didudukkan kembali di kursi pesakitan untuk mendengarkan keputusan majelis hakim yang menyidangkan perkaranya. Sebagaimana diketahui bahwa Ibu Bhayangkari itu didakwa melakukan tindak pidana pencemaran nama baik melalui teknologi informasi (media sosial facebook – red) alias melanggar UU ITE. Oleh JPU, Nina Muhammad dituntut hukuman penjara 6 bulan ditambah denda 50 juta rupiah.
Walaupun JPU kesulitan membuktikan dakwaannya karena kesalahan proses hukum sejak di Polresta Manado, namun banyak pihak amat pesimistis terhadap peradilan perkara Nomor: 313/Pid.Sus/2021/PN.Mnd ini akan berpihak kepada kebenaran. Jikapun lembaga Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) telah turun tangan mengawal proses hukum terhadap Ibu Bhayangkari itu, namun harapan menghadirkan keadilan bagi Nina Muhammad masih harus dipendam sejauh mungkin.
“Ibu Senator Maya Rumantir dua kali berkirim surat menggunakan kop surat DPD-RI ke ketua majelis hakim Djamaluddin Ismail terkait permintaan agar Nina Muhammad diizinkan ke Jakarta dalam rangka menghadiri undangan penyidik Bareskrim Polri untuk di-BAP. Hingga hari ini kedua surat itu tidak digubris. Apalagi hanya tulisan saya, tentu sangat tidak bermakna apa-apa bagi proses peradilan di PN Manado itu,” sungut Lalengke.
Dalam rekayasa hukum di kasus Nina Muhammad ini, imbuh pria lulusan program pasca sarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University itu, sekali lagi pernyataan KH. A. Mustofa Bisri bakal menemukan pembuktiannya. Gus Mus, sapaan akrab kyai ini, berkata dalam puisinya: ‘penegak keadilan jalannya miring, hakim main mata dengan maling, penuntut keadilan kepalanya pusing’ [4].
“Dalam keputus-asaan ini, jika nanti Nina Muhammad diputus bersalah, saya hanya dapat berucap ‘semoga harimau itu bahagia telah melahap anaknya sendiri’,” kata Wilson Lalengke masgul.
(APL/Red)
Tinggalkan Balasan