Oleh : M. Rizal Fadillah (Pemerhati Politik dan Kebangsaan)
Oase I news.com, Bandung-Menempatkan pandangan keagamaan yang berbeda antara satu agama dengan agama lainnya adalah hal yang wajar. Konsekuensi dari pluralisme yang dihargai. Kasus Ustadz Yahya Waloni dan Muhammad Kece berbeda dalam konteks penghinaan atau penistaan agama. Kece menista agama sedangkan Ustadz Yahya Waloni tidak.
Kece berkoar dengan menafsirkan seenaknya tanpa dasar dan basis keagamaan yang cukup tentang Nabi Muhammad SAW yang disebut pengikut Jin atau bersalam muslim mengganti Allah dengan Yesus. Ini sama sekali tidak berhubungan dengan pemahaman Kristiani. Itu adalah hawa nafsu Kece sendiri. Berbeda dengan Ustadz Waloni yang menyatakan bahwa Bible palsu maka hal ini menjadi keyakinan umat Islam pada umumnya.
Jika sebagai orang Kristen Kece menyatakan bahwa Al Qur’an tidak benar bahkan palsu maka itupun adalah haknya. Ia tidak meyakini Al Qur’an. Tapi jika ia menyatakan Al Qur’an itu adalah igauan Nabi Muhammad misalnya, maka itu penistaan. Karena ia telah menafsirkan dimana keyakinan Kristiani juga tidak menggambarkan demikian.
Ustadz Yahya Waloni menyebut bahwa Bible itu palsu tentu berdasarkan pemahaman ilmu teologi yang dikuasainya. Ia akan mampu mempertanggungjawabkan dengan dasar keyakinan dan keilmuannya. Jika ada argumen bantahan maka pandangan Ustadz Yahya itu bisa dibawa ke ruang diskusi teologis. Demikian juga jika ada orang lain yang merasa berpengetahuan bahwa Al Qur’an itu palsu misalnya, itupun dapat diperdebatkan pula.
Kece nampaknya bukan orang yang berpengetahuan dalam soal agama baik Islam maupun Kristen. Ungkapannya lebih pada sentimen keagamaan dan mencari sensasi bahkan komersial karena berujung pada donasi. Bukan eksplanasi dari substansi sebuah religi.
Kini keduanya diproses secara hukum. Untuk Kece ujarannya mengandung kebencian dan yang bukan menggambarkan pandangan Kristiani, karenanya tidak mudah untuk mendapat dukungan terbuka dari umat Kristen. Justru kecaman besar dari umat Islam yang didapat. Sebaliknya Ustadz Waloni yang diposisikan penyeimbang atau balas dendam tentu akan mendapat support dan perhatian dari umat Islam.
Membawa perdebatan tentang orisinalitas Bible ke ruang hukum justru dapat mengguncangkan. Ustadz Yahya Waloni akan menempatkan sebagai bagian dari elemen pembela Islam. Ruang sidang menjadi arena pembuktian. Berbeda dengan si Kece yang dinilai ngelantur ujarannya karena sangat tidak berbasis dalil atau kajian.
Umat tinggal mengikuti saja buka-bukaan soal agama di forum hukum yang tentu berdampak SARA dan menjadi perhatian nasional, bahkan Internasional. isu menariknya adalah “Bible itu palsu”.
Semestinya “balas dendam” dan perdebatan keagamaan yang dibawa ke ruang Pengadilan seperti ini tidaklah perlu jika Pemerintah cinta damai dan menjaga kerukunan. Bisa saja kasus Ustadz Waloni menjadi magnet baru dari sentimen keumatan dan keagamaan. Membangun fanatisme dan membuka celah friksi. Ustadz Yahya Waloni tidak sama dengan Kece sang pemaki umat dan penista agama. Kece lebih dekat dan sama dengan Abu Janda !.( Simon )
Tinggalkan Balasan