Oase I news.com, Jakarta- Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) MENGECAM KERAS praktik perbudakan modern yang yang terjadi di rumah Bupati Langkat non aktif, TERBIT RENCANA PERANGIN ANGIN. Penemuan kerangkeng dan DUGAAN praktik PERBUDAKAN ini berawal dari operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK terhadap Terbit Rencana sebagai penerima suap dari kontraktor yang menggarap proyek infrastruktur di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Adapun lokasi dari kerangkeng berada pada lahan belakang rumah Bupati dan praktik tersebut telah berlangsung lebih dari 10 tahun.
“Kami juga menyayangkan sikap institusi lainnya seperti Badan Narkotika Nasional (BNN) Kabupaten Langkat yang seakan mendukung praktik kerangkeng walaupun sudah mengetahui sejak lama. Padahal Bupati jelas tidak memiliki otoritas melakukan pembinaan atau rehabilitasi terhadap pengguna narkotika. Hal ini menandakan bahwa institusi lain yang membiarkan praktik tersebut tidak mengerti konsep dasar hak asasi manusia. Selain itu, sampai saat ini belum ada jaminan keamanan dan informasi secara pasti mengenai kondisi puluhan korban yang menempati kerangkeng tersebut. Sejauh ini juga belum ada pihak manapun yang berhasil menjalin komunikasi dan meminta keterangan korban maupun keluarganya,” kata Fatia Maulidiyanti Koordinator KontraS.
Sementara itu, berdasarkan temuan Migrant Care, setidaknya ada dua kompleks penjara sebagai tempat tinggal para pekerja. Praktik semacam ini DAPAT DIPASTIKAN SEBAGAI BENTUK PERBUDAKAN MODERN (modern slavery) yang merupakan KEJAHATAN LINTAS BATAS dan SANGAT MEMPRIHATINKAN. Selain perbudakan, para korban juga mengalami bentuk pelanggaran HAM dan tindakan tidak manusiawi lainnya seperti tempat tinggal yang tidak layak, pembatasan ruang gerak, perampasan kemerdekaan seseorang, tindakan penyiksaan, upah yang tidak layak, makanan yang tidak layak dan dihalanginya akses informasi dengan pihak luar.
“Kami menilai bahwa kejahatan ini tidak hanya dilakukan oleh Bupati Langkat, melainkan melibatkan banyak pihak baik yang dilakukan secara sengaja maupun dalam bentuk pembiaran. Sehingga kuat dugaan bahwa praktik ini dilakukan secara TERENCANA mengingat jumlah korban cukup banyak yakni sebanyak 40 orang. Atas dasar tersebut, kami menilai bahwa rangkaian tersebut merupakan KEJAHATAN TERSTRUKTUR dan pelanggaran serius terhadap kemanusiaan,” tandas Fatia.
Dugaan adanya tindakan penyiksaan yang dialami oleh para pekerja seperti dipukul hingga mengalami lebam dan luka, tentu saja mencederai norma konstitusi yang mengamanatkan bahwa hak untuk tidak disiksa sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam situasi dan kondisi apapun. Indonesia juga telah meratifikasi The United Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (UNCAT) melalui UU No. 5 Tahun 1998.
“Kami melihat bahwa ruang tertutup seperti kerangkeng memang rawan terjadinya tindakan penyiksaan. Ditambah dengan temuan bahwa kondisi tempat tinggal tidak layak dan banyak perlakuan tidak manusiawi lainnya seperti pemotongan rambut secara paksa semakin membuktikan adanya pelanggaran terhadap nilai-nilai UNCAT,” ungkapnya.
Praktik yang terjadi di Langkat, Sumatera Utara tersebut juga telah masuk klasifikasi KERJA PAKSA (forced labor), sebab tidak dilakukan dengan sukarela dan dengan ancaman hukuman. Terlebih praktik kerja paksa biasanya dilakukan di tempat tertutup dan tidak berperikemanusiaan. Hal ini memperlihatkan bahwa NEGARA TIDAK MAMPU MEWUJUDKAN KOMITMEN terhadap KONVENSI ILO tentang Penghapusan Kerja Paksa sebagaimana telah diratifikasi melalui UU No. 19 Tahun 1999.
“Kami juga menyoroti kinerja Kepolisian yang tidak berhasil membongkar praktik perbudakan tersebut selama lebih dari 10 tahun. Padahal, locus dari perbudakan merupakan tempat yang sangat mudah diakses oleh aparat keamanan. Tindakan perbudakan ini juga tentu saja telah memenuhi unsur delik mengenai perampasan kemerdekaan sebagaimana diatur dalam Pasal 333 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Gagalnya pembongkaran praktik perbudakan tersebut juga membuktikan lemahnya perlindungan negara terhadap hak asasi para pekerja di Kabupaten Langkat, negara telah mengabaikan hak asasi warga Kabupaten Langkat untuk mendapatkan pekerjaan yang layak,” tegasnya.
Atas dasar uraian di atas, kami mendesak beberapa pihak:
Pertama, Komnas HAM untuk segera melakukan investigasi dan membongkar secara tuntas praktik pelanggaran HAM yang terjadi pada peristiwa kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat;
Kedua, LPSK RI untuk segera menjamin hak atas rasa aman dengan melakukan perlindungan terhadap para korban. Selain itu LPSK juga harus segera melakukan pemulihan efektif (effective remedies) bagi para korban perbudakan baik secara fisik maupun psikologis;
Ketiga, Kepolisian Republik Indonesia dalam hal ini Polda Sumatera Utara untuk mengusut secara tuntas dan berkeadilan dengan menangkap seluruh pelaku yang terlibat dalam praktik perbudakan di rumah Bupati Langkat tersebut.
Demikian siaran pers yang dikeluarkan oleh Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang diterima oleh pada Selasa (25 Januari 2022.(Simon)
Tinggalkan Balasan