PPNU Gelar Diskusi Bertajuk Peredaran Minuman Keras Oplosan di Kalangan Pelajar

Oase I news.com, Jakarta- Perilaku pemuda dan pelajar selalu menjadi sorotan. Sebab, pada masa inilah manusia mengalami masa transisi menjadi dewasa dan cenderung ingin mengetahui dan mengalami banyak hal. Tanpa adanya bimbingan orang tua dan guru, para pemuda terutama pelajar cenderung akan mencoba sesuatu yang baru, tidak peduli apakah itu baik atau buruk bagi dirinya.

Diantara sekian banyak kecenderungan dan keingintahuan mereka adalah bahwa pemuda dan pelajar tidak lagi memerdulikan kesehatan dan jiwanya. Minuman beralkohol, minuman keras bahkan minuman oplosan kadang menjadi pilihan bagi ajang coba-coba.

Badan Otonom Bidang Pelajar Putri Nahdlatul Ulama biasa disebut dengan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama atau IPPNU menyelenggarakan Webinar ‘Peredaran Minuman Keras Oplosan di Kalangan Pelajar’ yang diselenggarakan di Tengah Kota Coffee and Resto, Jumat, 17 September 2021.

Acara diikuti oleh beberapa orang unsur tokoh masyarakat, aktivis, para stakeholder, serta sebagian besar anggota organisasi Banom NU Provinsi DKI Jakarta. Dalam diskusi, berkembang penjelasan bahwa sejatinya minuman oplosan bukanlah minuman beralkohol.

Oplosan adalah barang ilegal, berbahaya, dan mematikan, perlu kesadaran semua pihak menyampaikan peringatan penting ini terutama bagi para pemuda dan pelajar di lingkungannya masing-masing.

Sedangkan minuman beralkohol legal atau resmi biasanya sudah mendapat ijin edar BPOM, dan diklaim aman untuk dikonsumsi secara bertanggung jawab oleh konsumen berusia 21 tahun lebih.

Tentunya diperlukan adanya edukasi masyarakat dan penindakan secara tegas peredaran minuman keras. Bahkan yang lebih penting lagi yang berupa minuman oplosan.

Kita tentunya dapat belajar dari pelarangan minuman beralkohol di Amerika Serikat tahun 1920-1933 yang justru malah menciptakan peredaran oplosan dan pasar gelap secara besar-besaran.

Industri minuman beralkohol di Indonesia yang resmi saat ini sudah diatur sangat ketat, mulai dari investasi, produksi, distribusi, hingga konsumsi.

Bahkan, minuman beralkohol yang resmi tersebut tidak mudah didapat dan dijual secara terbatas di hotel, restoran, bar, supermarket, dan hypermarket.

Inilah kemudian yang menyebabkan maraknya produksi illegal dan pemerintah wajib hukumnya mengendalikan peredaran minuman beralkohol illegal jenis ini agar masyarakat terutama para pelajar sulit mendapatkannya dan terhindar dari mengonsumsinya.

Akademisi Ma’had Aly Al-Aqidah Al-Hasyimmiyah, Nanda Khoeriyah mengatakan, jika pemuda mengkonsumsi minol karena mencari eksistensi, ingin dilihat oleh lingkungan, dan ingin mencoba sesuatu yag baru, dan sebagai pelarian bersama teman-temannya.

“Miras adalah eksistensi. Miras merupakan bagian budaya indonesia sehingga itu tidak bisa dilarang total, pengaruh demi eksistensi, dan pengaruh serta hasrat untuk selalu diakui. Karena bagian dari budaya, kita jangan mudah menghakimi orang lain. Dan orang yg yang mengkonsusmi itu pasti buruk. Tidak, memang ada di budaya kita itu bagian dari budaya kita,” katanya.

Di sisi lain, Antropolog Universitas Indonesia /Asosiasi antropologi Indonesia Raymond Michael Menot menjelaskan tentang adat atau budaya kita yang menjadikan minuman sebagai bagian dari budaya kita.

“Kita punya 500 etnis suku, 160 ribu pulau, 6 agama besar. Dan setiap etnis itu punya minuman khas daerah masing-masing. Di manado, Minahasa, NTT, Papua dan lainnya.      Secara adat, minol itu sudah dipraktekkan ribuan tahun lalu, bukan kebiasaan karena kebiasaan bisa diganti tapi budaya tidak karena menyangkut harga diri dan psikologis,” jelasnya.

“Minol masih ada sampai sekarang, bukan untuk mabuk-mabukan. Di samping itu, aturan kita melarang anak usia 16 tahun mengkonsumsi minol. Dalam adat juga tidak boleh minum, ada aturan dan ukurannya. Secara adat, minol itu lebih berfungsi sebagai penghangat, acara ritual dan perjamuan khusus,” sambungnya.

Materi terakhir oleh Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU DKI Jakarta, KH. Lutfi Hakim, menurutnya, miras oplosan terbuat dari bahan-bahan yang tidak seharusnya dikonsumsi. Pemerintah sudah seharusnya dengan segera menindaklanjuti payung hukum yang mengaturnya.

“Dalam RUU ini ada tiga hal, filosofis isinya membahas apakah semua daerah ataupun agama menganggap hal ini dilarang, karena sebagian daerah ataupun agama menganggap minol sebagai pelengkap upacara keagamaan ataupun kebudayaan, secara sosiologis juga demikian, yuridis berisi perlu adanya payung hukum, harus ada payung hukum berupa pengendalian, bukan larangan, karena akan jadi diskriminasi, dan pengendalian harus dibarengi dengan pengawasan,” paparnya.

Sementara, K.H. Lukman hakim mengkritisi RUU minol yang belum menyentuh minol oplosan. Beliau menjelaskan dari aspek filosofis, sosiologis dan yuridis, beliau mengatakan.

 

“Pemerintah sudah punya regulasi untuk mengatur miras tapi oplosan ini belum ada pengaturannya. Kita berfikir positif, bahwa dalam melaksanakan kebijakannya pemerintah berdasarkan kemaslahatan masyarakatnya. Hal ini berdasarkan kaidah fiqh, tasharroful imam alar ro”iyah manuthun bil maslahah,” tandasnya.( Simon )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *