Oase I New.com
Oleh : Imran Basri, Wabendum PPD HMI cabang Gowa Raya, Sulawesi Selatan.
Momentum hari buruh internasional tidak seharusnya diperingati secara seremonial saja dengan turun ke jalan, karena sejatinya may day bukanlah pemberian kaum penguasa atau pemilik modal kepada kaum buruh akan tetapi lahir dengan perjuangan dan perlawanan.
Perlawanan tersebut baik berupa aksi mogok kerja, dan berbagai variasi aksi lainnya. dimulai tahun 1884 yang di mana sejak tahun-tahun sebelumnya kaum buruh dipaksa untuk bekerja hingga 20 jam perhari. Dan puncaknya ialah pada 1 mei 1886 yang kemudian merupakan hari kemenangan kaum buruh yang melahirkan perubahan jam kerja menjadi 8 jam perhari atau di kenal dengan istilah three eighth ( 8 jam kerja, 8 jam bersosialisasi dan 8 jam istirahat).
Pada momentum may day inilah bangsa indonesia harusnya berbenah diri akan kondisi kebangsaan dewasa ini. Sebab jelas pesan konstitusi bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana termaktub pada pasal 27 ayat 2 UUD 1945, akan tetapi kebijakan rezim bangsa ini justru berbanding terbalik dengan realitas yang ada. Lahirnya berbagai regulasi yang kemudian tidak berpihak kepada tenaga kerja lokal namun justru berpihak kepada asing dengan perpres yang cenderung memundahkan akses tenaga kerja asing untuk bekerja di Indonesia dengan berbagai dalih pemerintah.
Ini merupakan imbas dari model investasi asing yang masuk ke negara ini yang di mana mesin, material, metode, biaya dan bahkan tenaga kerja itu didatangkan dari negara asal pemilik modal sehingga regulasi yang sebelumnya terkait tenaga kerja asing itu kemudian dilabrak dan bahkan dibuatkan regulasi baru yang tentunya berpihak kepada kepentingan pemilik modal tanpa memperhitungkan keinginan kebutuhan buruh.
Perpres nomor 20 Tahun 2018 tentang Tenaga Kerja Asing merupakan puncak dari manifestasi keberpihakan rezim terhadap asing yang dimana tenaga kerja asing lebih di permudah untuk masuk ke negara ini setelah sebelumnya berbagai kebijakan telah dikeluarkan. Dihapuskannya kewajiban berbahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing tentu merupakan kesalahan besar rezim saat ini, belum lagi dihapuskannya rasio 1 banding 10 yang di mana 1 tenaga kerja asing harus sebanding dengan 10 tenaga kerja lokal demi kepentingan transfer knowledge (pengetahuan) yang seharusnya menjadi tujuan utama kita merekrut tenaga kerja asing, serta aturan bebas visa dengan dalih untuk menarik wisatawan asing dan menarik investor dari luar negeri.
Kebijakan-kebijakan tersebut di ataslah yang pada muaranya akan merusak ideologi bangsa ini dengan berbagai aturan pemerintah yang cenderung merugikan buruh lokal dan mengancam keamanan bangsa karena tenaga kerja asing tersebut mayoritas merupakan mantan narapidana serta mantan militer. Bahkan kerang human traficking (perdagangan manusia) dan jalur masuk obat-obatan terlarang kemudian terbuka lebar, penemuan polisi yang terjadi di Batam sebanyak 2 ton merupakan salah satu bukti nyata yang dimamfaatkan asing.
Kebijakan-kebijakan pemerintah melalui perpres ini seakan-akan mengabaikan 28 juta rakyat miskin dengan kurang lebih 7 juta pengangguran di Indonesia demi kepentingan asing. Hal ini bisa menjadi landasan kuat bahwa komitmen keberpihakan pemerintah itu bukan untuk warga negara bangsa ini namun lebih kepada kapitalis asing. Dari kecenderungan-kecenderungan ini kita bisa beranggapan bahwa kejadian yang menerpa bangsa ini melalui perpres merupakan polarisasi kaum pemilik modal dan rezim bangsa ini untuk kemudian menginvasi bangsa ini dengan kedok investasi yang tak lain hanya untuk mengeruk sumber daya alam yang ada di seluruh penjuru bangsa, “Ini merupakan eksodus asing berkedok tenaga kerja.”
Editor : Kosasih
Tinggalkan Balasan