Pilkada 2024 Dilaksanakan, Perlu Diperbaiki Sistimnya
JAKARTA,Oase INews.com — Sekjen Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), H Najmul Akhyar mengatakan bila pilkada serentak tahun 2024 dilaksanakan maka yang perlu diperbaiki itu sistem pemilunya.
“Supaya pemilu yang akan dilakukan supaya tidak menimbulkan dampak seperti yang sudah terjadi. Seperti banyak korban meninggal karena kecapaian dsb. Karena itu yang harus didiskusikan antara Komisi II dan Pemerintah sistem itu,” ujar Najmul minggu (14/2/2021).
Maka, lanjutnya beberapa kepala daerah dalam rapat bersama Ketua Komisi II DPR RI di Jakarta pada Kamis (11/2/2021), mengusulkan masa kampanye agar dipersingkat. “Jika kemaren masa kampanye berlangsung 3 bulan, cukup 1 bulan saja,” kata Bupati Lombok Utara ini.
Sebelum undang-undang pilkada ditetapkan, katanya, DPR harus berpikir dulu agar menimbang-nimbang sisi positif negatifnya. Bila UU selesai maka tidak perlu ada lagi perdebatan persoalan Pilkada 2024.
“Yang belum selesai adalah bagaimana berubah sistem ini dibuat lebih sederhana. Seperti kemaren sudah ada penyederhanaan langsung dihitung di kabupaten. Kita perlu berpikir lagi terhadap debirokrasi pemilu ini sehingga tidak terlalu capai bagi penyelenggara pemilu,” katanya.
Menurutnya, jika masalah ini berlarut-larut akan menjadi persoalan karena seperti nya Indonesia tidak punya sistem yang matang. Terlalu seringnya undang-undang berubah seakan-akan tidak ada kepastian undang-undang mana yang dianggap baik.
“Masa hidup kita seakan dalam kesementaraan. Semua serba sementara. Akibatnya jika ada yang belajar tentang regulasi di Indonesia selalu terlambat. Bahkan jika kita sudah melakukan dengan baik, sistem ini berubah lagi,” sebutnya.
Maka, imbuhnya, jika Komisi II DPR RI membahas masalah regulasi selalu melibatkan Apkasi dalam proses pembuatan undang-undang.
“Karena bagaimanapun para bupati merupakan representasi masyarakat yang ada di wilayah masing-masing. Berkaitan dengan pilkada juga berkaitan erat dengan para bupati dan DPRD,” ucapnya.
Kemudian, lanjutnya, terkait PLT jika memungkinkan jika bupati atau wakil bupati mencalonkan diri cukup sekda setempat saja yang menjadi PLT. “Karena tugas-tugas akhir bupati itu lebih dipahami oleh Sekda dibandingkan orang lain untuk menyelesaikannya,” tuturnya.
Kemudian, katanya, terkait peradilan yang berkaitan dengan peserta pemilu. Sekarang ini regulasi diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal, menurut Najmul beban MK sudah berat, ditambah lagi untuk menyelesaikan masalah pilkada.
Dia mengusulkan untuk menyelesaikan sengketa pilkada kembali ke asas locus delicti. Artinya dimana ada persoalan muncul cukup diselesaikan pengadilan setempat.
“Kalau memungkinkan kedepan agar biayanya lebih murah dan prosesnya lebih cepat cukup perkara pilkada diselesaikan pengadilan negeri setempat. Selain itu pengadilan negeri diberi kewenangan keputusan final, supaya tidak semua sengketa di seluruh Indonesia ini mengambil keputusan lewat MK,” ucapnya.
Najmul menuturkan, terkait persoalan birokrasi kewenangan bupati atau walikota yang makin lama ditarik ke pusat. Bahkan hampir habis dalam konteks, misalnya dalam hal mengatur dinas-dinas atau OPD terutama berkaitan dengan eselon dua mengenai siapa yang menempati kepala dinas.
“Mungkin maksud pemerintah baik tapi dalam pelaksanaannya menjadi agak rumit karena rotasi atau mutasi harus dikomunikasikan dengan KSM. Kalau cepat alhamdulillah, tapi kalau lama bisa memperlambat bupati dalam melakukan penyesuaian personil-personil yang ada di wilayah kabupatennya,” katanya.
Dia mencontohkan Dukcapil. Meski usernya bupati atau walikota tapi kepala Dukcapil harus minta persetujuan dari Menteri Dalam Negeri. Misalnya jika kepala daerah menginginkan kepala Dukcapil jika tidak dikehendaki Mendagri tidak bisa dilakukan.
“Salah satu contoh salah satu kepala daerah di Lombok mengganti kepala Dukcapil nya tapi tidak dinginkan Mendagri. Kemudian setelah kepala Dukcapil yang baru tetap dilantik bupati, pemerintah pusat memblok seluruh portal yang berkaitan dengan administrasi kependudukan di kabupten tersebut,” ungkapnya.
Menurutnya, hal ini menjadi persoalan tersendiri bagi bupati atau walikota. Karena secara logika bupati atau wakil bupati itu lebih memahami siapa yang bisa membantunya karena usernya itu bupati secara langsung.
Kewenangan-kewenangan yang sekarang ditarik ke pusat misalnya pendidikan, kehutanan ditarik ke provinsi. “Padahal jika terjadi kasus kebakaran hutan pemerintah kabupaten pasti turun tangan. Tapi urusan kewenangan diserahkan ke pemerintah provinsi,” ujarnya. (Fattah)
Tinggalkan Balasan