Mahasiswa Dipiting Lalu Dibanting, Dan Akhirnya GONJANG GANJING

Oleh  : M. Rizal Fadillah (Pemerhati Politik dan Kebangsaan)

 

Oase I news.com, Bandung- Ini adalah peristiwa aksi unjuk rasa mahasiswa di depan Kantor Pemkab Tangerang berkaitan dengan HUT Kabupaten Tangerang ke 389. Para mahasiswa yang ingin menyampaikan aspirasinya kepada Bupati Kabupaten Tangerang M. Zaki Iskandar namun dihadang oleh aparat Kepolisian sehingga terjadi kericuhan. Dan seorang mahasiswa peserta unjuk rasa Muhammad Faris Amrullah (21) mendapat perlakuan kasar dari petugas kepolisian Polresta Tangerang dengan DIPITING, DIANGKAT, dan DIBANTING. Tentu saja calon Intelektual penerus kelangsungan hidup masa depan bangsa Indonesia itu Pingsan dan mengalami kejang-kejang. Kemudian menjadi GONJANG-GANJING dalam pemberitaan headline di seluruh media di Indonesia.

Tuntutan publik agar anggota Kepolisian Polresta Tangerang pelaku kekerasan dikenakan sanksi tegas terus bergulir baik sanksi administratif maupun pidana. Propam Mabes Polri sedang menjalankan Pemeriksaan kepada pelaku kekerasan oleh aparat kepolisian Polresta Tangerang. Sedangkan Kapolresta Tangerang maupun Kapolda Banten telah MEMINTA MAAF kepada korban dan keluarganya. Tetapi Gonjang-ganjing belum berhenti. Video kejadian tetap viral di media sosial.

Aksi kekerasan penanganan aksi unjuk rasa bukan pertama, tetapi berulang, bahkan pengunjuk rasa yang tewas maupun teraniaya telah terjadi di berbagai tempat. Kasus penanganan aksi unjuk rasa di depan kantor Bawaslu 21-22 Mei 2019 yang menewaskan 9 pengunjuk rasa belum tuntas pengusutannya, apalagi pemberian sanksi.

Kepolisian RI dibawah kepemimpinan Jendral Pol Listyo Sigit Prabowo kini sedang mendapat SOROTAN masyarakat. Di samping konsep “democratic policing” yang dinilai telah membawa Kepolisian merambah kemana-mana (multi fungsi) termasuk ke ruang politik, juga pada penegakan hukum yang banyak menuai kritik. Penggunaan UU ITE sangat diskriminatif dan bernuansa politis. Tugas Kepolisian dirasakan memiliki garis demarkasi yang tipis antara alat negara dengan alat pemerintahan atau alat kepentingan politik penguasa.

Keterlibatan Brimob menjadi titik krusial Kepolisian dalam menangani unjuk rasa. Polisi “BERSENJATA dan BERPOSTUR TENTARA” ini sering menjadi warna berbeda dengan wajah “sipil atau kemasyarakatan” Polisi. Babinsa di Sulawesi Utara (Sulut) baru- baru ini “DIPITING” juga oleh Brimob. Mengingat postur seperti ini wajar jika di masyarakat muncul gagasan agar Brimob ini sebaiknya  dilebur saja  ke dalam TNI.

Apapun itu, nampaknya perlu evaluasi mendasar atas fungsi dan peran Kepolisian dalam sistem ketatanegaraan kita, termasuk kaji ulang Kapolri yang berkedudukan langsung di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Apalagi ternyata praktek politik kenegaraan nyatanya lebih bersifat oligarkhi ketimbang demokrasi.(Simon)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *